Beberapa teman saya memiliki keterbatasan dalam berbicara dan mendengar (Tuli). Saya tidak mengatakannya sebagai tuna wicara atau tuna rungu. Karena memiliki makna yang berbeda. Arti kata 'tuna' berarti tidak. Maka artinya tidak bisa bicara dan tidak bisa mendengar. Padahal jika kita mau memperhatikan, tuna rungu adalah suatu keadaan dimana seseorang tidak dapat mendengar. Sedangkan mendengar adalah konteks memahami pembicaraan yang dapat dipahami dalam menggunakan bahasa isyarat bagi  mereka yang memiliki keterbatasan dalam mendengar. Demikian halnya dengan tuna wicara.Â
Orang dengan keterbatasan ini dapat berbicara melalui gerakan tangan yang didukung dengan ekspresi muka (mimik). Tuli adalah nama komunitas untuk menyebut mereka yang menggunakan bahasa isyarat dalam berkomunikasi. Tuli menggunakan huruf"T" besar karena merupakan nama komunitas. Seperti Jawa, Madura,Sunda.Â
Di tempat saya kuliah, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, terdapat Pusat Layanan Difabel (PLD). Yaitu suatu lembaga di bawah naungan  Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) yang di dalamnya membantu mahasiswa berkebutuhan khusus(difabel). Di sini, mereka akan mendapatkan pelayan sesuai kebutuhan masing-masing. Seperti mahasiswa Tuli yang membutuhkan penerjemah bahasaisyarat (interpreter) dan  notetaker. Pendampingan tersebut dilakukan ketika proses belajar di kelas. Berbeda dengan mahasiswa tuna netra yang tidak membutuhkan pendampingan ketika proses belajar. Namun mereka membutuhkan pendampingan ketika tengah menjalani ujian tengah semester (UTS) dan ujianakhir semester (UAS). Hal tersebut dilakukan kaena notabene ujian yangdilaksanakan adalah ujian tulis. Tugas pendamping disini hanya membacakan soal ujian dan menuliskan jawaban.
Saya sendiri pernah melakukan kedua hal tersebut. Salah satu mahasiswa Tuli dapat berbicara layaknya orang pada umumnya. Hanya saja suaranya sangat kecil. Iahanya tidak mampu mendengar. Ia pun dapat membaca gerakan bibir (oral). Namunakan kesulitan memahami jika berbicara terlalu cepat. Mendampingi mahasiswa ini tentu lebih mudah. Sedangkan menghadapi mahasiswa yang full menggunakan bahasa isyarat membutuhkan keahlian khusus. Yaitu bahasa isyarat. Karena tak mungkin semua hal yang dikatan Dosen di tulis dalam lembar notetaker.
Bahasa isyarat memiliki ciri khas yangberbeda-beda setiap daerahnya. Hal ini sama dengan bahasa khas tiap daerah. Namunbahasa isyarat dapat dipelajari dengan cara sering berkomunikasi dengan mahasiswa Tuli. Kebiasaan inilah yang akan membawa pada titik komunikasi yangbaik antara pendamping dan mahasiswa Tuli.Â
Bahasa isyarat seharusnya memiliki tempat ditengah masyarakat. Karena hal tersebut sebagai alat komunikasi dengan orangyang memiliki keterbatasan ini. Dimulai dari belajar mengucapkan salam dalam bahasa isyarat serta simbol-simbol lain sebagai pengganti kata. Sejauh saya berkomunikasi dengan teman-teman Tuli, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam komunikasi ini.
Pertama, fokus terhadap lawan bicara. Entah itu kita sedang menjelaskan sesuatu ataupun menyimak apa yang diungkapkan seorangTuli. Ini adalah hal yang sangat berpengaruh dalam menangkap informasi . Kita tidak boleh berbicara dengan bahasa isyarat dengan melakukan hal lain. Membalas pesan sms misalnya. Hal tersebut akan sangat menganggu.
Kedua, tatapan mata. Seorang Tuli akan kesulitan menjelaskan informasi yang diberikan apabila lawan bicara menunduk. Iaakan meminta untuk menatap dan meluruskan pandangan.
Ketiga, ekspresi wajah. Hal ini sebagai pendukung dari informasi yang disampaikan. Misalkan sedih dengan ekspresisedih. Wajah yang datar akan sulit dipahami. Artinya akan menimbulkan ambiguitas informasi. Biasanya ia akan meminta mengulang kembali dengan bahasa isyarat.
Yang terakhir adalah memahami karakteristik bahasa isyarat yang digunakan masing-masing Tuli. Seperti yang saya singgung diatas. Bahwa setiap Tuli memiliki bahasa isyarat khas yang berbeda-beda. Salah satu teman saya (relawan) biasa mendamping dua orang dari asal daerah yang berbeda. Ada yang menggunakan bahasa isyarat khas Yogyakarta dan ada satunya khas sumatra. Namunperbedaan tersebut tidak jauh berbeda. Di Indonesia kita menggunakan BahasaIsyarat Indonesia (Bisindo) sebagai bahasa isyarat Nasional. Ciri khasnyamenggunakan dua jari.Â
Ketertarikan saya terhadap bahasa isyarat membawa saya pada suatu kesadaran bahwa dunia terasa terbelah menjadi dua.Orang yang berkomunikasi dengan bahasa mulut (oral) dan orang dengan  komunikasi bahasa isyarat. Hal ini tentudikarenakan pemberdayaan terhadap Tuli sangat minim. Bahasa isyarat sebagai bahasa yang asing. Masyarakat masih sangat ekslusif  untuk menerima mereka sebagai bagian dari individu yang berfungsi sosial. Padahal ada ribuan orang yang memilikiketerbatasan ini. Belum lagi mengenai isu pendidikan bagi Tuli yang masih belummaksimal. Pendidikan inklusi masihdalam proses pembangunan pada sekolah dan kampus yang menerapkan sistem pendidikan ini.