Oleh:
Feyzha Thahaara Wahiy
Prodi Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri JakartaÂ
feyzhawahiy@gmail.comÂ
PENDAHULUANÂ
Isu pemindahan Ibu Kota Negara selalu menjadi topik yang hangat untuk diperbincangkan. Ide yang telah hadir bahkan sejak era kepemimpinan Presiden Soekarno sampai Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut akhirnya mulai direalisasikan pada era Presiden Joko Widodo dengan wacana yang tampak begitu nyata. Usulan pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur ini didasari dan didukung oleh kajian yang dilakukan Bappenas yang menilai bahwa Provinsi DKI Jakarta sudah tidak lagi mampu menjalankan peran sebagai Ibu Kota Negara dengan optimal. Hal tersebut diperkuat dengan semakin pesatnya pertambahan penduduk yang tidak terkendali, penurunan kondisi dan fungsi lingkungan, tingkat kenyamanan hidup yang semakin menurun, serta ketidakmerataan persebaran pertumbuhan ekonomi di DKI Jakarta dan Pulau Jawa dibandingkan dengan wilayah lainnya di Indonesia.
Mengacu pada wacana di atas, perundang-undangan terkait Ibu Kota Negara (termasuk prosedur pemindahannya) memang sangat diperlukan untuk mengatur tentang tata kelola pemerintahan Ibu Kota Negara yang lebih baik dari segi pemerintahan maupun penataaan ruang dan lingkungan hidup. Yang mana hal tersebut kemudian juga merangkap pada perwujudan tujuan nasional, yakni melindungi segenap bangsa Indonesia, seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum. (Bappenas, 2020).
Proyek pemindahan Ibu Kota Negara ini adalah proyek yang sangat besar sehingga memerlukan persiapan yang luar biasa dengan prosedur yang ketat dan harus disempurnakan tanpa terkecuali. Pemerintah harus melakukan kajian pada seluruh aspek, baik demografi, ekonomi, sosial, dan budaya terhadap calon Ibu Kota Negara, serta mengkaji perbedaannya dengan Ibu Kota Negara terdahulu. Membangun Ibu Kota Negara juga bukan hanya menyiapkan infrastruktur dan lingkungannya saja, tetapi membangun Ibu Kota Negara artinya pemerintah tetap harus menyiapkan manusianya, baik yang akan pindah maupun yang telah lama menetap. Di samping itu, poin terpenting dalam isu ini adalah sebagai mega proyek pembangunan, pemindahan Ibu Kota Negara tentu harus memenuhi prinsip-prinsip keadilan, partisipasi, dan kesetaran gender yang merupakan landasan penting dalam pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals (SDGs).Â
TEMUAN DAN ANALISISÂ
Pemenuhan prinsip Sustainable Development Goals (SDGs) adalah indikator utama terciptanya pembangunan yang prima. Dalam kasus pemindahan Ibu Kota Negara ini, Kementerian PPN atau Bappenas telah melakukan berbagai kajian, termasuk aspek demografi, sosial, ekonomi, dan budaya terkait pemindahan Ibu Kota Negara sebagai tahap awal dari rencana pembangunan. Pemerintah juga sudah melakukan persiapan-persiapan pembangunan Ibu Kota Negara Baru lainnya, termasuk di dalamnya desain final istana negara Ibu Kota Negara baru. Namun, di samping itu, masih banyak poin-poin kosong dan cacat dalam rencana pembangunan Ibu Kota Negara baru ini. Utamanya adalah perilaku prinsip keadilan dan partisipasi warga lokal dalam pembangunan.
Pembangunan partisipatif sudah seharusnya menjadi jenis pembangunan yang diterapkan dalam pembangunan Ibu Kota Negara baru di Kalimantan Timur ini. Hal ini karena Indonesia merupakan negara demokrasi dan pembangunan Ibu Kota Negara baru adalah pembangunan tingkat nasional yang tentu melibatkan serta berdampak pada seluruh komponen negara, khususnya masyarakat. Akan tetapi, pada kasus ini masih ditemukan kerancuan terkait keterlibatan masyarakat, khususnya warga lokal dalam proyek pemindahan Ibu Kota Negara ini.
Partisipasi merupakan keterlibatan suatu individu/kelompok dalam pencapaian tujuan pembangunan yang dibarengi dengan adanya pembagian kewenangan atau tanggung jawab bersama. Bentuk partisipasi dalam pembangunan bisa berupa partisipasi sosial, partisipasi politik, partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam pengambilan pemanfaatan, maupun partisipasi dalam evaluasi. Adapun dalam pembangunan Ibu Kota Negara baru ini, muncul berbagai pernyataan yang berbeda dari pemerintah dan juga warga lokal terkait prinsip partisipasi tersebut. Pemerintah mengklaim telah mendapat dukungan dari warga lokal, sementara petani dan warga adat merasa belum pernah diajak berdialog mengenai isu pemindahan Ibu Kota Negara ini.
Klaim pemerintah terkait dukungan dari warga lokal tersebut berasal dari 5 orang yang dipanggil pemerintah sebagai wakil warga adat dan kelompok suku di Kalimantan Timur. Dalam pertemuan yang diatur oleh pemerintah itu, kelima orang tersebut memang memberikan dukungan terhadap pembangunan Ibu Kota Baru. Kendati demikian, salah seorang petani di Kalimantan Timur mengatakan bahwa tidak seluruh warga di kampungnya sependapat. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan dari 5 warga lokal tersebut tidak sepenuhnya bersifat representatif dan mewakili aspirasi seluruh lapisan masyarakat. Pemerintah dianggap hanya mengundang para elit, sedangkan masyarakat lokal lapisan bawah, termasuk petani belum pernah diajak berdialog. Sebagian dari mereka bahwa baru mengetahui proyek pembangunan Ibu Kota Baru ini dari media sosial. (Sabukdin, 2019).
Selain itu, pengetahuan publik terhadap wacana pemindahan ibu kota juga terbatas karena Kementerian PPN dinilai tidak transparan dalam proyek ini. Hal ini membuat masyarakat tidak bisa mengkritik secara langsung tinjauan ilmiah yang dilakukan pemerintah. (BBC News Indonesia, 2022). Dengan demikian, pemerintah harus benar-benar memperhatikan dan mengawal isu partisipasi di atas dalam mewujudkan pembangunan yang partisipatif. Hal itu diperkuat oleh fakta bahwa partisipasi publik yang parsial dapat meningkatkan risiko ketidakadilan karena pembangunan yang dilakukan tidak mewakili kepentingan publik.
Adapun isu ketidakadilan juga menjadi isu tersendiri dalam proyek pembangunan Ibu Kota Negara baru. Prinsip keadilan menekankan bahwa setiap komponen pembangunan yang layak harus mendapatkan keadilan dalam segala aspek. Pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur menciptakan risiko kerusakan hutan karena memerlukan pembukaan lahan baru untuk populasi yang datang dari Jakarta. Terlebih lagi sebagian dari lahan yang dibebaskan adalah lahan milik warga adat. Situasi tersebut menunjukkan bahwa bukan hanya terjadi ketidakadilan bagi warga tapi juga bagi lingkungan. Mengingat konsep keadilan dalam pembangunan tidak hanya berarti adil bagi masyarakat yang ada sekarang, namun juga bagi generasi di masa yang akan datang serta bagi lingkungan yang menjadi tempat manusia melakukan pembangunan.
Isu selanjutnya ada pada prinsip kesetaraan gender dalam masyarakat untuk memenuhi hak-haknya. Dimana indeks ketimpangan gender di Jakarta ada di angka kurang dari 0,2 Â sedangkan Kalimantan Timur berada di angka dari 0,4. (BPS, 2021). Hal ini menggambarkan bahwa Indonesia mengalami kerugian 20% dari pencapaian pembangunan manusia akibat adanya ketidaksetaraan gender yang diukur dari aspek kesehatan, pemberdayaan, serta akses dalam pasar tenaga kerja di ibu kota. Dengan demikian maka pemindahan Ibu Kota Negara ke Kalimantan Timur menambah pekerjaan rumah pemerintah untuk menekan ketimpangan gender di Ibu Kota Negara baru. Risiko pembebasan hutan sebagai lahan populasi serta degradasi lingkungan lain pun akan ikut meningkatkan kemungkinan bertambahnya kasus ketimpangan gender. Dimana pembebasan hutan akan mempengaruhi sanitasi Ibu Kota Negara, sehingga otomatis juga membuat lingkungan rentan akan bencana yang menjadi ancaman khususnya untuk kelompok rentan seperti perempuan.