Mohon tunggu...
Fetty Fajriati
Fetty Fajriati Mohon Tunggu... -

Fetty Fajriati adalah mantan penyiar/reporter RCTI, mantan Humas The Habibie Center, mantan Wakil Ketua Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Pusat. Fetty masih tercatat sebagai salah seorang associate Fellow di The Habibie Center, dan kegiatannya sekarang adalah menjadi pengajar, trainer, penulis lepas, dan ibu rumah tangga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yuukk….bikin berita yang berempati pada penderitaan orang lain!

2 September 2011   16:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:17 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mungkin anda pernah mendengar berita di televisi seperti ini:

“Dua orang pencuri tertangkap saat akan beroperasi di sebuah rumah yang ditinggal penghuninya mudik selama tiga hari. Dua pencuri sudah berada didalam rumah dan siap menggondol barang-barang berharga. Namun sialnya, saat akan meninggalkan rumah, segerombolan anak muda yang hendak berlebaran ke sesama tetangga memergoki. Melihat kedua pencuri dengan hasil curian di tangan, para pemuda itupun mengeroyok mereka. Alhasil, bukannya barang curian, tetapi bogem mentah yang mereka dapati hingga babak belur”.

Sekilas tidak ada yang salah dengan berita tersebut. Kita paham bahwa akhirnya pencuri itu gagal membawa barang curian karena dipergoki segerombolan pemuda itu. Tetapi, cermatilah. Di sana ada kalimat…..”Namun sialnya, saat akan meninggalkan rumah, segerombolah anak muda dan seterusnya……….”.

Mengapa menggunakan kata “Namun sialnya”?. Pembuat berita ini terkesan memihak kelompok kriminal melalui diksi yang digunakannya. Sesungguhnya,kegagalan pencuri, adalah keberuntungan bagi penghuni rumah. Jadi, seharusnya bukan kata “sialnya” yang digunakan oleh pembuat berita, melainkan kata “untungnya”. Coba bandingkan jika kalimat diubah menjadi: “Untungnya, saat akan meninggalkan rumah, segerombolan anak muda yang hendak berlebaran ke sesama tetangga memergoki.” Pemilihan kata “untungnya” lebih menunjukkan empati, dan menggambarkan betapa hubungan sosial di masyarakat bisa berdampak positif, seperti yang dilakukan para pemuda itu.

Ini bukan berita yang pertama saya dapati. Cobalah sekali-kali anda duduk menonton program khusus kriminal. Mungkin anda suatu saat akan menemukan contoh berita seperti ini:

Maman yang sudah tidak tahan untuk menyalurkan hasratnya kepada Mimin, akhirnya membius Mimin melalui obat tidur. Melihat Mimin yang tergeletak tak berdaya, Maman pun mulai menjalankan misinya. Sayangnya, saat itu juga, orang tua Mimin pulang dan memergoki perbuatan Maman. Maman pun langsung digiring ke kantor Polisi”.

Sekali lagi kata “sayangnya” tidak menunjukkan keberpihakan pembuat berita kepada korban yang hampir saja diperkosa. Selain itu, penggunaan kata “menjalankan misinya” sungguh tidak tepat untuk tindakan perkosaan. Karena “menjalankan misi” biasanya digunakan untuk tindakan rahasia atau penting yang berdampak kepada banyak orang.

Ketidakpekaan semacam ini, tidak hanya terdapat pada berita, tetapi juga dalam wawancara. Suatu malam saya mendengar reporter televisi mewawancarai korban perkosaan dengan pertanyaan sebagai berikut:


Reporter: “Bagaimana perasaan anda?”

Korban  : (pelan dan lirih) “Sedih….

Reporter: “Bagaimana sebenarnya peristiwa itu berlangsung?”

Korban: (diam….bingung) “Saya diperkosamesti bilang apa?”

Wawancara ini jelas sangat tidak etis selain tidak memiliki empati kepada korban. Pertama, jelas korban tidak perlu mengatakan bagaimana perasaannya.Kedua, pertanyaan itu tentu akan membangkitkan kenangan pahit pada apa yang korban alami, sehingga korban tidak dapat menghilangkan trauma karena kejadian itu harus ia ingat berulang-ulang. Pastinya, di kantor polisi pun korban sudah memberi kesaksian.

Haruskah seorang reporter televisi mendapatkan info kejadian perkosaan itu dari mulut korban ketimbang dari pihak kepolisian? Pernyataan korban memang akan meningkatkan “greget” program, tetapi haruskah mengabaikan perasaan dan rasa malu korban, sekalipun wajah korban disamarkan? Kepekaan semacam ini sering kali tidak hinggap dibenak reporter televisi yang mendewakan rating program ketimbang rasa kemanusiaan. Padahal reporter harusnya menjadi orang pertama yang peka terhadap penderitaan masyarakat, lalu mengangkat penderitaan itu agar pihak lain tergerak untuk membantu penderitaan mereka.

Ketidakpekaan ternyata juga saya dapati baru-baru ini pada siaran langsung mudik yang disiarkan langsung beberapa televisi swasta dari pelabuhan Bakauheni dan jalur Pantura. Seorang reporter diminta penyiar di Studio melaporkan tingkat kecelakaan lalu lintas sepanjang berlangsungnya arus mudik menjelang dan setelah lebaran.Begini laporannya:

Rekan XX di Studio, saya laporkan bahwa berdasarkan info yang saya peroleh, tingkat kecelakaan menurun dibanding tahun lalu. Tahun lalu korban meninggal berjumlah 60 orang, lebaran ini menurun 30 persen. Jadi, korban meninggal hanya 42 orang. Korban luka berat sebanyak 185 orang menurun 35 persen, menjadi hanya120 orang. Dan korban luka ringan dari 300 orang menurun…..dan seterusnya.”

Sengaja saya garisbawahi kata “hanya”, untuk menunjukkan betapa tidak pekanya reporter tersebut terhadap jumlah korban meninggal dan luka-luka. Apakah jumlah puluhan dan ratusan bisa dikatakan sedikit? Barangkali masih bisa diterima bila dikatakan tahun lalu jumlah korban meninggal 40 orang, tahun ini hanya 2 orang. Karena jumlah angka turun yang sangat drastis. Sesungguhnya, berapa pun jumlah korban, meski hanya satu, tetaplah sebuah nyawa yang sangat berarti bagi keluarga korban.

Seharusnya media, terutama televisi, bisa memberikan masukan kepada pihak yang berwenang, baik itu aparat keamanan mau pun pemerintah setempat, agar berhati-hati terhadap adanya kecelakaan/ musibah/ atau tragedi agar jangan ada korban berjatuhan lebih banyak lagi.Jika seorang reporter tidak memiliki kepekaan terhadap korban-korban kriminal dan musibah, maka ia pun tidak akan membawakan “nurani” dalam berita yang dibuatnya. Sehingga berita yang dibawakannya tidak memiliki pesan. Hanya sekedar laporan pandangan mata. Sehingga tidak ada dampak yang bisa mengubah situasi.

Ketidakpekaan reporter/ editor gambar/ produser terhadap kekerasan, dampak tragedi dalam berita yang dibuatnya, akan menumpulkan pula kepekaan pemirsa atau masyarakat. Bayangkan saja, jika terus-menerus masyarakat mendengar kata, “korban meninggal hanya 3 orang, luka-luka hanya 5 orang………akankah terasa berharganya sebuah nyawa?. Lihat saja, dulu masyarakat begitu takutnya melihat tayangan berdarah-darah.Sekarang, gambar-gambar orang tawuran/kerusuhan dengan darah berlinangan, sudah seperti hal yang biasa, tidak lagi menakutkan.

Kita bandingkan dengan apa yang terjadi di luar negeri baru-baru ini. Kita lihat kerusuhan di London yang terjadi bulan Agustus lalu. Televisi BBC baik lokal mau pun internasional, tidakgamblang menampilkan gambar-gambar perusakan, penjarahan dan vandalisme yang terjadi di London Utara dan beberapa wilayah di luar London.

Demikian juga dengan laporan tentang Gempa di Louisa, Virginia, 135 kilometer barat daya Washington, yang tidak memfokuskan pada korban yang jatuh, melainkan pada tindakan pemerintah terhadap penanganan gempa, selain gambar-gambar beberapa bangunan yang runtuh dan orang-orang yang ketakutan.

Tugas reporter bukanlah hanya melaporkan suatu berita, tetapi lebih lagi menggalinya, melakukan investigasi dan menyaring semua data dan fakta yang ia peroleh untuk bisa disampaikan kepada masyarakat secara bijaksana. Reporter harus menyadari bahwa sekecil apa pun, dampak baik atau pun buruk dari suatu pemberitaan pasti dirasakan oleh masyarakat, entah itu secara perorangan mau pun berkelompok atau keseluruhan masyarakat. Dan dampak yang baik bagi dari suatu berita adalah apabila itu bisa memberikan perubahan dan pencerahan bukan sebaliknya.

Lewat tulisan ini, saya berharap para reporter muda yang bekerja di televisi-televisi, baik televisi khusus berita mau pun televisi dengan program umum, agar mengasah kepekaan dan nuraninya dalam menyampaikan berita kekerasan, kriminalitas, mau pun tragedi. Harus diingat, televisi adalah kotak ajaib yagn pesonanya sangat besar. Adalah betul bila Anjing menggigit orang, itu bukan berita. Tetapi jika orang menggigit anjing, itu baru berita! Tetapi haruskah kita sampaikan hal itu dengan mengatakan, orang itu mula-mula menggigit leher anjing itu, menghirup darahnya, barulah mengunyah dagingnya????

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun