Tanggal "duadua"Â yang membuat luka dan bagiku tanggal 'duadua' memang penuh luka. Mengapa tidak, jujur aku sakit membaca status yang begitu mengharukan tentang ibu mereka, entah kenapa harus pada tanggal 'duadua'. Tanggal inilah yang mengingatkan aku pada kejadian 6 th yang lalu, kejadian yang merubah hidupku bak kolam renang yang bersih menjadi kolam dimana penuh pembuangan sampah tak dianggap. "duadua" Mei, saat itu aku dan adikku yang masih terhitung belia sedang menunggui ibuku di rumah sakit. Ayahku yang renta sepertinya kelelahan menunggui ibuku tercinta, sehingga terpaksa menyuruh aku dan adikku menunggui ibuku yang terbujur lemah di ranjang rumah sakit. Beliau menderita komplikasi dan waktu itu aku tak tau penyakit macam apa itu. Dan ini bukan kali pertama ibuku di rawat di tempat yang kata orang desa rumah bagus tersebut. Tetapi ini kali pertama aku melihat ibuku merasakan kesakitan yang luar biasa. Saat itu beliau sedang diperiksa oleh dokter ibuku, dan tiba-tiba dokter itupun mendekat an memelukku seraya berkata "Sabar ya nak, umur seseorang sudah ada yang mengatur".
Lidahku kelu, tanpa menjawab pertanyaan dari dokter, air matakupun pecah tak terbendung. Segera ku berlari kencang menuju te,pat dimana ibuku di baringkan. Dan seketika aku memeluk tubuh ibuku yang terbujur lemas, wajahnya pucat dan matanya pun sayu , beliau dalam keadaan kritis.
Aku hanya bisa berkata "Ibu bertahanlah untukku, karena hanya engkau yang dapat memberikan kasih sayang abadi tak ternilai dan tak terbandingkan dengan apapun".
Ibuku pun meneteskan air mata....
Pelan-pelan ku bisikkan asma Allah dan kalimat tayyibah di telinganya. Tak henti-hentinya aku mencium dan memeluk ibuku. Hatikupun menangis, menjerit dan tanganku serasa tak mau lepas ketika mendekap ibuku, dengan asumsi agar malaikat izroil tidak mengajak ibuku pulang kesisi-Nya. Aku hanya bisa berdo'a agar Allah menggantikan posisi kesakitan yang dirasakan oleh ibuku ke dalam tubuhku.
"Sayang janganlah kau tangisi ibumu, itu hanya akan menghambat kepergiannya dan ibumu pun tidak akan pergi dengan tenang". Kata kakakku.
Mendengar itupun isakan tangisanku pun semakin dalam.
Tak terasa senja telah menggantikan matahari menjadi bulan yang bersinar, ibuku pun lambat laun tersadar. Hatiku merasa lega melihat ibuku sedang melihat dan memperhatikanku, tetapi matanya seolah berkata inilah tatapan terakhirku nak.
Tiba-tiba kakakku memanggilku dan berkata "Ibumu sudah sadar nak, besok kamu harus sekolah, dan sekarang kamu harus ikut pulang bersamaku"
Air matakupun turun lagi, karena aku benar-benar ingin bersama ibuku dan tak mau berpisah malam itu. Firasatku mengatakan aku harus tetap tinggal. Tapi apa mau dikata, aku tak mungkin membantah kakakku.
Dengan paksaan kakakku, akhirnya akupun mau pulang. Aku mampir ke rumahku untuk mengambil seragam, karena malam itu aku tak mungkin tidur di rumah sendirian dan haru tidur di rumah kakakku. Tapi tak disangka ternyata dressku tertinggal dan aku berencana untuk mampir ke rumah sebelum masuk sekolah besok pagi.
"Nak, segera tidur besok sekolah" Kata kakakku yang entah mengapa tiba-tiba malam itu dia menemani dan memelukku saat aku tidur. Akhirnya akupun tidur dengan hati dan perasaan bagai digoncang ombak yang sangat dahsyat.
Paginya akupun bersiap untuk berangkat ke sekolah, saat itu kakakku memintaku agar aku naik bus saja, karena mobilnya ada masalah, dan saat aku menunggui bus di pinggir jalan tiba-tiba tetanggaku meneleponku dan berkata "Nak, pulang ke rumah sekarang, ibumu sudah pulang". Belum sempat aku menjawab telepon tersebut, tiba-tiba tetanggaku itu mematikan teleponnya.
Didalam bus perasaanku carut marut, pikiranku sudah melayang jauh entah kemana, jantung ini berdebar kencang seperti ada sesuatu dibalik ini semua.
Setelah dekat dengan rumahku, aku melihat jejeran bendera kuning dengan kerumunan orang berpakaian hitam dan putih. Apakah yang sedang terjadi, aku semakin bingung. Aku sadar ini adalah mimpi buruk yang menjelma menjadi kenyataan. Aku lompat dari bus, aku berlari kencang dan sesampainya didepan pintu aku sudah tak sadarkan diri.
Setelah aku tersadar, aku sudah di kerumuni banyak orang, dan aku baru tau kalau aku tadi pingsan. Aku mendengar isakan tangis disekitarku, aku mendapat pelukan dari kakak dan teman-teman sekolahku waktu itu, aku masih bingung apakah ini nyata atau tidak.
Nak sholatkanlah ibumu. Dengan tubuh gemetar aku mengambil air wudhu, dan langsung menyolatkan ibuku. Setelah selesai menyolatkan aku baru tersadar bahwa ini nyata, ini bukan mimpi. Seketika aku menangis, menjerit, aku tak percaya ini nyata.
Setelah ibuku dimasukkan kedalam keranda, akupun mengaitkan tanganku pada mobil yang akan membawa jenazah ibuku ke pengisitirahatan terakhirnya. Aku tak mau kehilangan ibuku, aku tak mau kehilangan mata, tangan dan hati yang indah yang selalu memberikan kasih sayang kepadaku. Sampai sekarangpun aku tak percaya bahwa ibuku telah tiada.
Kini yang bisa aku lakukan kalau merasakan rindu aku hanya bisa menangis, berlari kencang ke makam beliau dan memeluk makam itu sepuas hatiku.
Pesan moral : Peluklah ibumu selagi beliau ada, datang dan katakan aku sayang ibu aku sayang ibu dan aku sayang ibu. Jangan sampai kalian menyesal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H