Mohon tunggu...
Feti Diniyatul Mudrikah
Feti Diniyatul Mudrikah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kallijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peluk Ibu Saat Ajal di Depan Mata

23 Desember 2013   00:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Nak, segera tidur besok sekolah" Kata kakakku yang entah mengapa tiba-tiba malam itu dia menemani dan memelukku saat aku tidur. Akhirnya akupun tidur dengan hati dan perasaan bagai digoncang ombak yang sangat dahsyat.

Paginya akupun bersiap untuk berangkat ke sekolah, saat itu kakakku memintaku agar aku naik bus saja, karena mobilnya ada masalah, dan saat aku menunggui bus di pinggir jalan tiba-tiba tetanggaku meneleponku dan berkata "Nak, pulang ke rumah sekarang, ibumu sudah pulang". Belum sempat aku menjawab telepon tersebut, tiba-tiba tetanggaku itu mematikan teleponnya.

Didalam bus perasaanku carut marut, pikiranku sudah melayang jauh entah kemana, jantung ini berdebar kencang seperti ada sesuatu dibalik ini semua.

Setelah dekat dengan rumahku, aku melihat jejeran bendera kuning dengan kerumunan orang berpakaian hitam dan putih. Apakah yang sedang terjadi, aku semakin bingung. Aku sadar ini adalah mimpi buruk yang menjelma menjadi kenyataan. Aku lompat dari bus, aku berlari kencang dan sesampainya didepan pintu aku sudah tak sadarkan diri.

Setelah aku tersadar, aku sudah di kerumuni banyak orang, dan aku baru tau kalau aku tadi pingsan. Aku mendengar isakan tangis disekitarku, aku mendapat pelukan dari kakak dan teman-teman sekolahku waktu itu, aku masih bingung apakah ini nyata atau tidak.

Nak sholatkanlah ibumu. Dengan tubuh gemetar aku mengambil air wudhu, dan langsung menyolatkan ibuku. Setelah selesai menyolatkan aku baru tersadar bahwa ini nyata, ini bukan mimpi. Seketika aku menangis, menjerit, aku tak percaya ini nyata.

Setelah ibuku dimasukkan kedalam keranda, akupun mengaitkan tanganku pada mobil yang akan membawa jenazah ibuku ke pengisitirahatan terakhirnya. Aku tak mau kehilangan ibuku, aku tak mau kehilangan mata, tangan dan hati yang indah yang selalu memberikan kasih sayang kepadaku. Sampai sekarangpun aku tak percaya bahwa ibuku telah tiada.

Kini yang bisa aku lakukan kalau merasakan rindu aku hanya bisa menangis, berlari kencang ke makam beliau dan memeluk makam itu sepuas hatiku.

Pesan moral : Peluklah ibumu selagi beliau ada, datang dan katakan aku sayang ibu aku sayang ibu dan aku sayang ibu. Jangan sampai kalian menyesal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun