Mohon tunggu...
Feti Diniyatul Mudrikah
Feti Diniyatul Mudrikah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa Psikologi UIN Sunan Kallijaga Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Peluk Ibu Saat Ajal di Depan Mata

23 Desember 2013   00:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:36 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Tanggal "duadua"  yang membuat luka dan bagiku tanggal 'duadua' memang penuh luka. Mengapa tidak, jujur aku sakit membaca status yang begitu mengharukan tentang ibu mereka, entah kenapa harus pada tanggal 'duadua'. Tanggal inilah yang mengingatkan aku pada kejadian 6 th yang lalu, kejadian yang merubah hidupku bak kolam renang yang bersih menjadi kolam dimana penuh pembuangan sampah tak dianggap. "duadua" Mei, saat itu aku dan adikku yang masih terhitung belia sedang menunggui ibuku di rumah sakit. Ayahku yang renta sepertinya kelelahan menunggui ibuku tercinta, sehingga terpaksa menyuruh aku dan adikku menunggui ibuku yang terbujur lemah di ranjang rumah sakit. Beliau menderita komplikasi dan waktu itu aku tak tau penyakit macam apa itu. Dan ini bukan kali pertama ibuku di rawat di tempat yang kata orang desa rumah bagus tersebut. Tetapi ini kali pertama aku melihat ibuku merasakan kesakitan yang luar biasa. Saat itu beliau sedang diperiksa oleh dokter ibuku, dan tiba-tiba dokter itupun mendekat an memelukku seraya berkata "Sabar ya nak, umur seseorang sudah ada yang mengatur".

Lidahku kelu, tanpa  menjawab pertanyaan dari dokter, air matakupun pecah tak terbendung. Segera ku berlari kencang menuju te,pat dimana ibuku di baringkan. Dan seketika aku memeluk tubuh ibuku yang terbujur lemas, wajahnya pucat dan matanya pun sayu , beliau dalam keadaan kritis.

Aku hanya bisa berkata "Ibu bertahanlah untukku, karena hanya engkau yang dapat memberikan kasih sayang abadi tak ternilai dan tak terbandingkan dengan apapun".

Ibuku pun meneteskan air mata....

Pelan-pelan ku bisikkan asma Allah dan kalimat tayyibah di telinganya. Tak henti-hentinya aku mencium dan memeluk ibuku. Hatikupun menangis, menjerit dan tanganku serasa tak mau lepas ketika mendekap ibuku, dengan asumsi agar malaikat izroil tidak mengajak ibuku pulang kesisi-Nya. Aku hanya bisa berdo'a agar Allah menggantikan posisi kesakitan yang dirasakan oleh ibuku ke dalam tubuhku.

"Sayang janganlah kau tangisi ibumu, itu hanya akan menghambat kepergiannya dan ibumu pun tidak akan pergi dengan tenang". Kata kakakku.

Mendengar itupun isakan tangisanku pun semakin dalam.

Tak terasa senja telah menggantikan matahari menjadi bulan yang bersinar, ibuku pun lambat laun tersadar. Hatiku merasa lega melihat ibuku sedang melihat dan memperhatikanku, tetapi matanya seolah berkata inilah tatapan terakhirku nak.

Tiba-tiba kakakku memanggilku dan berkata "Ibumu sudah sadar nak, besok kamu harus sekolah, dan sekarang kamu harus ikut pulang bersamaku"

Air matakupun turun lagi, karena aku benar-benar ingin bersama ibuku dan tak mau berpisah malam itu. Firasatku mengatakan aku harus tetap tinggal. Tapi apa mau dikata, aku tak mungkin membantah kakakku.

Dengan paksaan kakakku, akhirnya akupun mau pulang. Aku mampir ke rumahku untuk mengambil seragam, karena malam itu aku tak mungkin tidur di rumah sendirian dan haru tidur di rumah kakakku. Tapi tak disangka ternyata dressku tertinggal dan aku berencana untuk mampir ke rumah sebelum masuk sekolah besok pagi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun