Kekerasan terhadap perempuan telah menjadi isu global yang terus melingkupi masyarakat, bahkan hingga menembus batas geografis, budaya, dan kelas sosial. Meskipun dunia telah mengalami kemajuan yang modern, perempuan masih menghadapi ancaman kekerasan yang membayangi kehidupan sehari-hari mereka. Bentuk kekerasan seperti kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual di ruang publik maupun tempat kerja dan berbagai bentuk kekerasan lainnya menunjukkan bahwa perempuan sering kali menjadi korban dalam lingkungan yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi mereka.
Dilansir dari Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan tahun 2023, berdasarkan laporan pengaduan yang diterima di ranah personal, terdapat sebanyak 674 kasus kekerasan terhadap istri. Sementara itu, lembaga layanan juga mencatat bahwa kasus kekerasan terhadap istri berada pada posisi tertinggi dengan jumlah 1.573 kasus kekerasan pada tahun 2023. Dalam kasus kekerasan dan pelecehan seksual, Komnas Perempuan dan lembaga layanan mencatat terdapat sebanyak 991 kasus kekerasan seksual berbasis elektronik, 711 kasus pelecehan seksual, 180 kasus pencabulan, 143 kasus perkosaan, dan 575 kasus lainnya yang melibatkan kekerasan seksual. Data kekerasan terhadap perempuan tersebut hanyalah sebagian kecil dari kasus yang dilaporkan dan jenis kekerasan yang terungkap. Masih banyak bentuk atau jenis kekerasan terhadap perempuan lainnya yang luput dari perhatian dan belum terlaporkan di lapangan.
Beberapa waktu lalu, media sosial kembali diramaikan dengan pemberitaan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan. Kali ini, salah satu pemicunya adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh Cut Intan, seorang perempuan mantan atlet anggar sekaligus influencer. Dalam unggahan di akun media sosialnya mengenai rekaman CCTV, terlihat jelas bagaimana ia mengalami tindakan kekerasan, seperti pemukulan yang dilakukan oleh suaminya. Kasus KDRT yang diungkapkan ini sudah terjadi selama lima tahun terakhir dan membuka mata publik mengenai betapa rentannya perempuan menjadi korban kekerasan, bahkan dalam lingkungan yang seharusnya memberikan perlindungan seperti di dalam rumah tangga.
Tidak hanya di Indonesia, beberapa waktu lalu media sosial juga diramaikan dengan kasus kekerasan terhadap perempuan yang terjadi di Kolkata, India. Seorang perempuan berprofesi sebagai dokter muda, bernama Moumita Debnath menjadi korban kekerasan seksual yang berujung pada kematian saat ia dirudapaksa ketika sedang beristirahat di ruang seminar sebuah rumah sakit. Kasus tragis ini menambah panjang daftar kekerasan seksual yang menimpa perempuan di tempat-tempat yang seharusnya menjadi tempat teraman bagi mereka. Kejadian ini menggarisbawahi bahwa ancaman kekerasan terhadap perempuan bisa terjadi di mana saja, tanpa memandang profesi, latar belakang, atau lingkungan sosial.
Berdasarkan beberapa kasus diatas membuktikan bahwa perempuan masih sangat rentan menjadi korban kekerasan, mengisyaratkan adanya masalah struktural yang lebih dalam pada masyarakat. Hal ini menyoroti kekerasan terhadap perempuan secara lebih luas. Ketidaksetaraan dan persepsi gender, norma-norma patriarki, serta minimnya penegakan hukum dan perlindungan bagi korban kekerasan adalah beberapa faktor utama yang menyumbang pada kekerasan, khususnya terhadap perempuan. Oleh karena itu, kajian feminisme dan budaya patriarki akan memperkuat pemahaman mengapa perempuan sangat rentan menjadi korban dari kekerasan.
Kajian Feminisme dan Budaya Patriarki
Feminisme diartikan sebagai gerakan yang muncul untuk mengakhiri seksisme, eksploitasi seksis, dan penindasan. Feminisme hadir sebagai gerakan sosial dan intelektual yang secara terstruktur terbentuk pada abad ke-19, meskipun pembahasan mengenai perempuan sudah ada sejak lama. Gerakan feminisme terjadi melalui tiga gelombang, di mana gelombang pertama (akhir abad 19-awal abad 20) berfokus pada hak-hak dasar (de jure) bagi perempuan. Kemudian, gelombang kedua (1960-1980) berfokus pada hak-hak sosial dan budaya. Terakhir, gelombang ketiga (1980-sekarang) berfokus pada hak-hak dalam isu keberagaman dan inklusivitas. Tokoh-tokoh yang terkenal dalam gerakan feminisme antara lain Mary Wollstonecraft, Betty Friedan, Simone de Beauvoir, Susan B. Anthony, dan Bell Hooks.
Berbicara mengenai feminisme juga berarti membahas seksisme, yaitu pandangan atau sikap diskriminatif terhadap peran dan posisi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, analisis mengenai jenis kelamin dan gender menjadi sangat relevan. Masyarakat sering kali menyamakan istilah “jenis kelamin” dan “gender”, yang berdampak pada konstruksi sosial mengenai peran dan memicu ketidaksetaraan gender. Jenis kelamin didefinisikan sebagai pembagian berdasarkan ciri-ciri biologis (kodrat dari Tuhan), sedangkan gender didefinisikan sebagai suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan perempuan.
Berkembangnya konstruksi sosial yang mengaitkan jenis kelamin perempuan—yang memiliki alat reproduksi, melahirkan, dan menyusui—dengan sifat lemah-lembut, keibuan, dan emosional, mengakibatkan peran perempuan sering kali dibatasi di ranah domestik. Sementara itu, jenis kelamin laki-laki—yang memiliki penis, jakala, dan memproduksi sperma—dianggap memiliki sifat jantan, perkasa, dan kuat sehingga peran laki-laki selalu ditempatkan di ranah publik. Kondisi ini menciptakan hierarki sosial di mana laki-laki diposisikan sebagai kelompok superordinat dan perempuan diposisikan sebagai kelompok subordinat.