Mereka menyebar perkataan-perkataan anti demokrasi, pancasila baik lewet pengajian-pengajian mereka atau mereka share ujaran kebencian tersebut lewat media massa. Mereka lupa dengan kemajemukan masyarakat indonesia dan mereka lupa bahwa Islam tidak mengajarkan paksaan dalam menyebarkan agama dan yang lebih parah mereka lupa apabila suatu ideologi dipaksakan untuk menggantikann suatu ideologi yang sudah ada maka yang keluar adalah revolusi dan revolusi didapat setelah adanya perang.
Kemudian kembali lagi kepada pembahasan mengenai kekerasan verbal yang terjadi di sekitar kita. Kekerasaan ini pernah terjadi kepada teman saya dimana dia bukan merupakan orang yang lahir asli di daerah saya yaitu desa tawing kecamatan Munnjungan kabupaten Trenggalek dia merupakan orang kelahiran papua. Lalu dikarenakan dia memiliki perbedaan yang sangat mencolok baik dari penampilan maupun dari tingkah laku dan kebiasaan mereka. Maka dia ketika pertama kali bergaul bersama kami ejekan lah yang dia dapat pertama kali. Tidak hanya itu dia sering dikucilkan dari kegiatan-kegiatan anak seusianya.
Kebencian terhadapnya semakin menjadi ketika diketahui bahwa kebiasaan dia salah satunya adalah mencuri. Kalau dulu ejekan atau hinaan tersebut hanya sebatas pada guyonan anak-anak tetapi dengan seiringnya waktu hinaan itu sudah didorong oleh kebencian terhadap seseorang. Bahkan walaupun tidak sampai melakukan kekerasan tetapi perlakuan seperti ini  juga tidak bisa dibenarkan. Dan bahkan perlakuan seperti ini lebih tidak memanusiakan manusia.
Dimana pendapatnya lebih sering dianggap sebagai angin lewat. Dan ketika sekali saja berbuat kejelekan maka cemoohan yang ia dapat. Padahal kami dan dia sama-sama memeluk agama yang sama dan masuk pada organisasi masyarakat yang sama. Tapi kami tidak sadar bahwa yang kami lakukan tersebut juga merupakan kekerasan yang bahayanya juga sama-sama bahaya dengan kekerasan fisik.
Memang tidak banyak diketahui bahwa penindasan atau kekerasan yang dilakukan secara verbal ternyata memiliki efek yang lebih dahsyat dibandingkan dengan kekerasan secara fisik. Menurut psikolog klinis Liza Marielly Djaprie, efeknya memang tidak terlihat tapi cukup mematikan. (CNN Indonesia, kamis 14 Oktober 2014). "efeknya tidak ada mimisan, bengep, seperti intimidasi fisik, tapi nikam banget ke dalamnya (jiwa), kena banget. Oleh sebab itu biasanya tingkat bunuh diri paling banyak berasal dari cyber bulliying dan verbal". Kata Liza dalam peluncuran kampanye gerakan #rayakannamamu yang diadakan oleh Coca Cola dikawasan Senayan, Jakarta, Rabu (13/1)
Yang akibatnya korban dari kekerasan verbal tersebut mengalami penurunan kepercayaan diri, menyakiti diri, bahkan bisa saja sampai menngakibatkan luka pada fisiik si korban. dan yang paling parah lagi apabila ia tak segan untuk melakukan bunuh diri. Memang apa yang dikatakan oleh Liza Marielly Djaprie memang benar. Hal itu terjadi pada teman saya tadi yang telah saya paparkan bahwa ia mendapat kekerasan verbal dimasa kecilnya dan sampai remaja oleh teman-temannya di daerah saya.
Dia memang setelah adanya perlakuan diskriminasi tersebut. Dia menjadi orang yang sedikit lebih pendiam daripada sebelumnya. Bahkan ketika diajak kumpul bareng-bareng dengan teman sebayanya. Dia lebih memilih untuk menyendiri dan ketika dia ikut kumpul dia pun tidak banyak bicara. Karena ketika dia ikut ngobrol, obrolannya itu tidak terlalu ditanggapi oleh kawan-kawan, sekalipun ditanggapi maka ujung-ujungnya didebat sampai dia terpojokkan dan akhirnya dia tidak mau untuk ngomong lagi. Apalagi ketika kami melakukan permainan secara team itu maka dia akan merasa minder jika satu team dengan kami masalahnya setiap permainan itu dia selalu diintimidasi oleh teman-teman setimnya.
Akan tetapi hal itu tidak berlangsung terlalu lama, karena kami sadar akan pentingnya toleransi keberagaman yang ada di Indonesia. Yang terkenal dengan semboyan bhineka tunggal ika nya yang mengakui perbedaan yang ada di negara ini asalkan tetep mengakui adanya pancasila dan juga UUD 1945 sebagai dasar negara.
Begitupun sebagai umat Islam, kami sadar akan pentingnya toleransi keberagaman. Kami sudah cukup kenyang terkait cerita akan bagaimana jika umat Islam sulit untuk dipersaudarakan. Bahkan hal itu terjadi dimasa yang sangat dini yaitu pasca Nabi SAW wafat. Dimana umat Islam terkotak-kotak menjadi faksi politik, awalnya menjadi faksi politik kemudian berlanjut kedalam aliran keagaman yang ironisnya dalam menyikapi perbedaan tersebut umat Islam cenderung mengkafirkan satu dengan yang lainnya dan yang paling ekstem dapat saling membunuh satu dengan yang lainnya.
Akan tetapi seharusnya realitas perbedaan ini menunjukkan ujian bagi masing-masing kelompok untuk bisa menjadikan kelompoknya sebagai pelopor dalam menghargai kemanusiaan. Maka dari itu toleransi sangat dibutuhkan dalam bermasyarakat dan bernegara. Toleransi sendiri menurut Nur Cholis Majid adalah keseimbangan antara kelompok mayoritas dan minoritas. Sehingga satu dengan lain dapat menghargai pluraritas yang ada di NKRI ini asalkan mereka paham akan konsep toleransi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H