Dalam artikel kali ini, saya mencoba menganalisa dan mengasumsikan pertumbuhan ekonomi dari faktor penentu, yaitu Konsumsi Rumah tangga.
Menuju tahun 2024, upaya perlindungan konsumen dihadapkan pada orkestrasi pembangunan nasional untuk mewujudkan Produk Domestik Bruto senilai 24 ribu trilliun rupiah. Target pendapatan per capital diproyeksikan US$ 5930 di tahun 2024, dengan berbagai indikator sosial ekonomi lain yang menyertainya.
Pada tahun 2018 sumbangan konsumsi rumah tangga yaitu sebesar 56% dari PDB. Pada gambar di dibawah ini pada tahun 2019 mengalami kenaikan sekitar 1.000 Triliun dari PDB sebelumnya, oleh sebab itu, untuk keharusan dalam mencapai 24.000 Triliun pada 2024, adalah dan perkiraan pada tahun 2025 diasumsikan sebesar 53%, sementara investasi 33%, belanja pemerintah 13%, dan ekspor 22% sedangkan impor 21%, dapat dihitung maka jumlah PDB Indonesia dapat mencapai 24.183 Triliun pada tahun 2025, dan pertumbuhan ekonomi tumbuh mencapai 9,1%. Apakah hal tersebut dapat tercapai?Â
Segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen merupakan amanah dari Undang-Undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK) yang tercantum dalam Pasal 1 ayat 1, tetapi kepedulian pemerintah terhadap masyarakat Indonesia dalam hal ini adalah konsumen yang dengan jumlah kurang lebih 260 juta jiwa, belum dapat dirasakan.Â
Persoalan perlindungan konsumen sejatinya dapat dikatakan sebagai Hak Asasi Manusia, sehingga diharapkan perlu mencari instrumen yang kuat agar tidak ada diskriminasi antara konsumen dan pelaku usaha. Salah satu instrument tersebut yaitu regulasi yang cukup untuk memberikan perlindungan pada konsumen sehingga dapat memberikan kepercayaan terhadap transaksi barang dan/atau jasa.
Perlindungan konsumen bukan soal kerugian konsumen atau hukum bisnis semata, akan tetapi ada pada jantung perekonomian negara. Ya jelas, karena konsumsi rumah tangga menyumbang PDB terbesar, oleh sebab itu, kepercayaan terhadap transaksi menjadi sangat penting, lebih lagi pada era ekonomi digital.
Kepercayaan transaksi perdagangan Indonesia secara garis besar masih mempunyai resiko yang tinggi karena era digital yang dengan mudah dan cepat berkembang, kepercayaan terhadap transaksi tersebut mempengaruhi perkembangan ekonomi Indonesia.
Tahun lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data perekonomian Indonesia pada tahun 2018 yang tumbuh 5,17 %, bahwa Perekonomian Indonesia diukur dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan dasar harga berlaku mencapai Rp14.837,4 triliun dan PDB Perkapita mencapai Rp56,0 Juta atau US$3.932.Â
Dari sisi produksi, pertumbuhan tertinggi dicapai Lapangan Usaha Jasa Lainnya sebesar 8,99 %. Dari sisi pengeluaran, pertumbuhan tertinggi dicapai oleh Komponen Pengeluaran Konsumsi Lembaga Nonprofit yang melayani Rumah Tangga (PK-LNPRT) sebesar 9,08 %, sedangkan pengeluaran dari  semua komponen menyumbang sebesar 10,79 %.
Ekonomi Indonesia triwulan IV-2018 dibanding triw ulan IV-2017 tumbuh 5,18 %. Dari sisi pengeluaran, disebabkan oleh komponen Ekspor Barang dan Jasa yang mengalami kontraksi 2,22 %. Struktur ekonomi Indonesia secara spasial tahun 2018 didominasi oleh kelompok provinsi di Pulau Jawa dan Pulau Sumatera.Â
Pulau Jawa memberikan kontribusi terbesar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yakni sebesar 58,48 %, diikuti oleh Pulau Sumatera sebesar 21,58 %, dan Pulau Kalimantan 8,20 %.