"Perempuan Kurang Kerjaan". Itulah plesetan dari akronim PKK yang pernah dilontarkan untuk organisasi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga.Â
Padahal, organisasi yang berdasarkan Perpres dan Permendagri itu memiliki "otot" massa kaum perempuan yang sangat besar. Dari segi keanggotaan saja, anggota PKK yang tersebar di seluruh provinsi mencapai kurang lebih 4 juta kader. Di Jakarta sendiri, ada 207.971 kader.
Sebutan "kader" sendiri itu sudah menunjukkan semangat sebuah "pergerakan" di benak para anggotanya. Kebetulan, mayoritas atau sekitar 90% anggotanya adalah kaum perempuan.
PKK berawal dari Seminar Home Economic di Bogor pada tahun 1957, yang saat itu menghasilkan rumusan 10 Segi Kehidupan Keluarga.Â
Salah satu kiprah PKK yang membuatnya mencuat ke pentas nasional adalah ikhtiar mengatasi busung lapar di kawasan Dieng, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah pada tahun 1967.Â
Pada tahun 1972, Mendagri atas perintah Presiden RI saat itu mengirimkan perintah kepada para Gubernur di seluruh Indonesia untuk mengubah kepanjangan PKK dari Pendidikan Kesejahteraan Keluarga menjadi Pembinaan Kesejahteraan Keluarga.Â
Pada tahun 2000, singkatan PKK menjadi Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga berdasarkan Keputusan Mendagri Nomor 53 Tahun 2000. Pengubahan nama ini seiring dengan penyesuaian tujuan pokok dan fungsi PKK yang berperan lebih luas di masyarakat.
PKK menjadi kekuatan nyata di lapangan, karena mampu menampung dan menyalurkan semangat kaum perempuan. Di momen bulan April ini, kita merayakan Hari Kartini untuk mengenang jasa Ibu Kartini yang ingin kaum perempuan diberi kesempatan untuk mengenyam pendidikan dan dapat berdaya dalam membangun ekonomi keluarganya.Â
Ibu Kartini dalam beberapa suratnya yang dikirim ke sahabatnya di Belanda menunjukkan keprihatinannya atas kondisi perempuan di daerah Jepara, Jawa Tengah. Surat-surat itu dikelola oleh Mr. J. H. Abendanon dan dijadikan buku dengan judul Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang) yang terbit pada tahun 1911.Â
Buku ini menginspirasi kaum perempuan di tanah air dan dunia sehingga pada 1964 pemerintah menganugrahkan gelar pahlawan nasional kepada ibu Kartini.Â
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya