Mohon tunggu...
Feryanto W. K
Feryanto W. K Mohon Tunggu... -

Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (IPB)

Selanjutnya

Tutup

Money

Liberalisasi Pertanian: Menguntungkan (Siapa) ?

8 Maret 2011   13:29 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesepakatan tersebut awalnya diharapkan mampu menciptakan perdagangan dunia yang lebih terbuka, transparan, dan non diskriminatif. Semua anggota WTO diharapkan dapat menghilangkan hambatan perdagangan non-tarif, secara bertahap mengurangi tarif, harus menghapus subsidi, serta mengurangi atau menghapus kebijakan yang bisa mendistorsi perdagangan bebas yang adil. Tapi kenyataannya, ‘masih jauh panggang dari api’, merupakan pepatah yang sesuai jika menggambarkan kondisi yang ada dari kesepakatan awal tersebut. Kesepakatan tersebut seolah-olah hanya berlaku bagi negara-negara berkembang dan tidak bagi negara maju. Keadilan perdagangan hanya sebagai jargon dan slogan negara maju disetiap sidang-sidang di WTO, dan bahkan negara-negara maju lebih besar lagi memberikan subsidi kepada petaninya.

Kondisi Singkat Pertanian Indonesia


Bagaimana kita dapat mencapai kemajuan dalam bidang petanian?, kalau kita harus terus bergantung pada dunia luar (baca; petani luar), tanpa pernah menghiraukan petani yang ada di negeri sendiri. Sebagai gambaran saja bagaimana impor telah menjadikan kita sebagai manusia-manusia yang ‘manja’ mau cepatnya saja tanpa mau berusaha. Agus Pakpahan dalam Karo-Karo (2005), menyebutkan bahwa Indonesia merupakan nett importir beras terbesar di dunia. Impor beras kita saja pada tahun 1999 mencapai 4,72 ton dengan nilai 1,32 miliar dollar AS. Belum lagi untuk jagung, kedelai, gula, jeruk dan bawang merah dan sapi serta masih banyak komoditi lain yang menjadikan negara kita sebagai importir netto. Bahkan yang lebih parahnya, kita sebagai negara kepulauan yang dikelilingi lautan yang luas, garam saja harus mengimpor sebayak 50% dari konsumsi nasional, padahal laut kita panjang garis pantainya 81.000 Km dan luas laut kita sekitar 5,7 juta Km2.

Kondisi yang urgen untuk diperhatikan pada saat sekarang ini adalah, ketidakmampuan dan ketidaksiapan petani untuk bisa bersaing dengan petani luar negeri yang memang sudah mapan dari segi pendidikan dan modal dan khususnya lagi dari kualitas produk yang dihasilkan. Ini disebabkan rendahnya kualitas petani kita yang sebagian besar hanya lulusan SD (Sekolah Dasar), belum lagi dari kepemilikan lahan yang tergolong sangat sempit, rata-rata petani kita hanya memiliki luas lahan 0,2-0,5 Ha/KK petani.

Serta pemerintah yang belum menunjukan keberpihakan dan dukungan yang optimal bagi kemajuan sistem pertanian kita khususnya dalam sistem tataniaga kita. Hal ini dibuktikan dengan bagaimana impor menjadi pilihan utama yang dilakukan oleh pemerintah untuk memenui kebutuhan dalam negeri, sepertinya pemerintah enggan untuk mau berpikir sedikit saja agar dapat meningkatkan produktivitas pertanian kita dengan kualitas yang baik tentunya dengan adanya keberpihakan kepada petani (dalam hal peningkatan kualitas SDM, perbaikan infrastruktur pertanian/irigasi dan penggunaan tehnologi), sehingga mampu menciptakan kesejahteraan petani kita. Kalaupun ada, iutpun hanya sebatas wacana saja tanpa ada upaya kongkrit dan ril yang dapat kita lihat bersama untuk keamjuan pertanian.

Lemahnya kondisi sistem tataniaga, memaksa kita untuk meratifikasi/mematuhi setiap kebijakan perdagangan bebas yang belum tentu memihak kepada petani kita. Lemahnya posisi tawar kita dalam setiap negosiasi internasional menyebabkan petani menjadi korban. Padahal menurut FAO, kita sebagai bangsa besar memiliki pasar yang besar dan kekayaan hayati nomor dua di dunia setelah Brazil, tetapi tetap saja kita tidak berdaya dalam ketidakberdayaan kita sendiri.

Dengan memperhatikan kondisi seperti itu, diprediksi beberapa tahun lagi, petani kita yang merupakan ‘pengusaha-pengusaha’ pertanian banyak yang akan gulung tikar dan beralih profesi menjadi buruh angkut di pelabuhan ataupun buruh kasar di perkotaan karena tidak sanggup lagi melakukan kegiatan usahatani (cost tinggi dan  produk tidak laku). Konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian akan meningkat, dan kalau benar demikian dikatakan pertanian hanya menjadi tinggal sejarah, kegiatan menanam dan memanen padi hanya dapat didengar sebagai dongeng pengantar tidur bagi anak-anak generasi berikutnya. Dan lebih parahnya lagi kita akan bergantung kepada dunia luar, dan akhirnya negara ini akan terus dalam ‘’jajahan’’ perekonomian negara-negara kapitalis.

Padahal pendiri bangsa ini telah mengingatkan “Bahwa hidup matinya suatu bangsa ada di pertaniannya”, ketika petaninya kuat maka kuat pula negara itu, sebab melalui pertanian masyarakatnya bisa sejahtera. Hal ini telah dibuktikan Amerika Serikat, Jepang, China dan Korea Selatan walaupun terkenal sebagai negara industri di dunia, tapi dari segi pertanian mereka sangat kuat, serta mereka sadar bahwa pertanian merupakan sektor yang dapat menyatukan seluruh bangsanya seperti yang diungkapkan oleh Abraham Lincoln (Presiden AS).

Sektor pertanian kita mempunyai peranan yang penting dalam pembangunan ekonomi. Sektor pertanian bertanggung jawab dalam menyediakan kebutuhan pangan rakyat. Tanpa dukungannya kita akan terpaksa impor pangan (seperti beberapa contoh diatas), padahal bangsa kita berpenduduk sangat besar dan kaya akan sumberdaya alamnya, yang dalam perdagangan internasional dinamakan sebagai big country.

Karena itu kita harus mampu meningkatkan efesiensi dan produktivitas sektor pertanian agar memiliki dayang banding (Comparative Advantage) dan daya saing (Competitive Advantage) di pasar global. Hal tersebut perlu dilakukan dengan peningkatan kualitas SDM petani kita melalui upaya pendampingan, pembinaan, pendidikan dan latihan yang dilakukan oleh Departemen Pertanian dan elemen pemerintahan yang terkait baik yang ada di pusat dan daerah. Perlindungan produk lokal dengan tetap memberlakukan tarif yang sesuai dan menurunkan pajak ekspor bagi pertanian lokal yang dapat bersaing di pasar global. Peningkatan nilai ekspor hasil pertanian (alih tehnologi), produktivitas dan pembukaan pangsa pasar upaya yang harus terus dilakukan,  dan yang utama memperbaiki kemampuan teknik negosiasi kita di tingkat internasional sehingga dapat memberikan sistem tata niaga yang berpihak kepada petani. Serta yang terakhir pemerintah harus berupaya memproteksi produk pertanian dan melakukan kegiatan promosi dengan konsep pengembangan sistem dan usaha agribisnis terpadu.

*) Staf Pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen- IPB. (Mantan deputi Sekjend Ikatan Senat Mahasiswa Pertanian Indonesia (ISMPI) BPP 2004-2006, Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik Pertanian)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun