Oleh,
Feryanto W. Karo-Karo[1]
(Mohon Maaf Artikel Lama, sekitar 3 tahun yang lalu... semoga masih relevan dan bermanfaat).
Akhir-akhir ini, bahkan sampai sekarang jika kita cermat mengkuti perkembangan informasi pertanian di Negara kita. Tentunya sebagai Alumni dari Perguruan tinggi pertanian terbesar di Asia Tenggara kita cukup paham mengenai perkembangan pertanian tersebut. Mungkin, beragam pendapat dan komentar terucap dari diri kita, baik mengenai kenaikan berbagai bahan makanan pokok yang belakangan ini naik secara bersamaan. Mana lagi perkembangan pertanian yang kata sebagian pengamat, tidak tentu arah pembangunannya, dimana pendapat ini perlu dibuktikan secara ilmiah obyektif, tidak hanya berdasarkan pendapat pribadi tanpa dasar dan referensi yang valid, tentunya akan menyesatkan publik.
Di tulisan ini, saya ingin berbagi informasi mengenai kasus komoditas kedelai, yang sempat “menggegerkan” perekonomian nasional. Disini saya ingin mengulas sedikit mengenai kedelai, mengapa harga kedelai mengalami kenaikan yang sangat tinggi dan pemerintah tidak sanggup membendungnya, serta bagaimana solusinya. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi yang dikaitkan dengan ilmu yang pernah dan sedang saya dalami sebagai seorang ekonomi pertanian (konsentrasi kebijakan dan pembangunan pertanian) dengan major ilmu agribisnis.
Cukup menarik jika kita cermati, mengapa kedelai menjadi isu yang sangat krusial dinegara kita ini, terlepas apakah kedelai terkait dengan kepentingan politik atau tidak (saya tidak akan membahasnya), tapi saya ingin menceritakan dari sisi akademisi yang tentunya seseorang yang bebas nilai dan terlepas dari kepentingan manapun. Karena begitulah seharusnya seorang akademisi atau ilmuwan.
Kenaikan kedelai yang cukup signifikan dari Rp. 2.500-Rp. 3.000/kg menjadi Rp. 7.500/kg, merupakan suatu lonjakan yang sangat besar (hampir 250-300%), kondisi ini tentunya sangat memukul industri pengrajin tahu tempe, tapi disatu satu sisi, berdampak positif bagi petani kedelai karena harga lokal ikut terangkat harganya, walaupun tidak setinggi harga kedelai impor, yakni dikisaran Rp. 6.000/kg. Namun, setelah kenaikan harga kedelai, kita baru mengetahui bahwa makanan favorit saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air, 70% dari kebutuhan kedelai nasional kita dipasok dari luar negeri. Dimana jumlah kebutuhan kedelai nasional kita sebesar 1,8 juta ton, dan total impor kita sebesar 1,3 juta ton. Sedangkan jumlah produktivitas kedelai kita rata-rata 1,3-1.5 ton per hektar dengan jumlah lahan kedelai kita yang tinggal 400.000 ha, sehingga produksi kedelai nasional kita sekarang sekitar 600 ribu ton pada (2007).
Kenaikan harga kedelai yang terjadi akhir-akhir ini, disebabkan oleh beberapa factor, baik yang berasal dari luar negeri dan dalam negeri. Namun, penyebab utama kenaikan harga kedelai pada saat ini, dikarenakan oleh faktor luar negeri, yakni (1), Di Amerika Serikat (AS), petani kedelai berlomba-lomba mengkonversi lahan kedelainya untuk ditanami jagung, sehingga supply kedelai di pasaran dunia turun drastis, sehingga menyebabkan harga kedelai ikut terdongkrak (sesuai hukum supply-demand). Kenaikan permintaan jagung berimbas akibat trade off keinginan pemerintah AS untuk mencapai target 3,5 Milyar gallon bahan bakar biofuel. Hal ini memberikan rangsangan yang sangat besar bagi petani AS berlomba untuk menanam jagung karena harga jagung sangat mahal. (2), Pemerintah China menaikkan tariff ekspor kedelai di negaranya sebesar 30% (dimana kebijakan ini baru pertama sekali dilakukan pemerintah dimanapun untuk produk pertanian), hal ini dilakukan oleh pemerintah China, karena kebutuhan kedelai mereka juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan harga kedelai mereka di dalam negeri cukup tinggi, maka untuk menstabilkan harga dan pasokan kedelai di China, pemerintah China meningkatkan tarif ekspornya. Dengan demikian lagi-lagi pasokan kedelai di pasaran dunia mengalami penurunan.
Sebagaimana kita ketahui bersama, kalau AS dan China merupakan produsen utama kedelai dunia (hampir 60-70%). Ketika mereka sepakat untuk mengurangi produksi kedelainya (dengan permasalahan di negaranya), menyebabkan harga dunia akan naik. Hal ini tentunya akan berimbas bagi pengusaha dan konsumen yang membeli dan membutuhkan kedelai sebagai bahan baku industrinya di dalam negeri.
Sedangkan faktor dalam negeri j terdiri dari: (1), Produksi nasional kita, dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan karena kurangnya teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas kedelai lokal kita, karena kedelai adalah tanaman sub-tropik. Berkurangnya lahan untuk menanam kedelai, dikonversi ke komoditas lain, serta dari dulu kebijakan komoditas pertanian kita hanya berfokus pada tanaman padi. Dan yang tak kalah penting, akibat dari kebijakan pemerintah masa lalu, dimana para penganut “perdagangan bebas” dan prinsip ekonomi klasik, yang mengatakan bahwa jika harga di pasaran dunia suatu komoditas lebih rendah dari harga dalam negeri, maka lebih baik mengimpor daripada memproduksi sendiri karena biayanya akan lebih murah bila dibandingkan kita harus memproduksi sendiri. Kebijakan impor yang diambil oleh pemerintah, walaupun tetap menetapkan tariff bea masuk sebesar 10%, yang tetap memberikan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan harga kedelai local. Ternyata impor tersebut, membuat kita terlena, sehingga pondasi dan esensi yang sebenarnya, bahwa kita juga harus mempersiapkan sistem agribisnis komoditas kedelai dalam negeri kita. Sehingga dengan kondisi yang terjadi sekarang, kita tidak mampu berharap banyak dari pasokan dalam negeri sehingga menyebabkan banyak pihak yang rugi. Dan (2) Kenaikan harga kedelai, menurut informasi ternyata juga dikendalikan oleh 4 perusahaan besar yang memegang izin impor di negara ini, sehingga tidak menutup kemungkinan mereka melakukan praktek oligopoli, dimana dimungkinkan untuk melelakukan kartel. Berdasarkan teori, jika hal itu benar berarti harga yang terbentuk pastilah diatas harga pasar persaingan. Untuk pendapat ini tentunya harus dibuktikan secara ilmiah, apakah benar. Hal itu bisa diuji dengan S-C-P (Structure-Conduct-Performance market), CR4 dan UU monopoli yang kita miliki yang dapat diuji oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Sehingga dengan berbagai kondisi diatas, sekarang sudah relatif “jelas” mengapa harga kedelai di dalam negeri ‘merangkak’ naik. Pada saat kondisi sekarang, sebagai negara dengan small open economi, kita tidak dapat menghindar dan berbuat banyak, karena kita bukan sebagai price maker, tetapi sebagai penerima harga (price taker) dipasar internasional. Sehingga kenaikan tersebut akan terus memberikan imbas bagi kita. Sehingga, para pecinta tahu tempe, baik itu dari seorang pemulung sampai seorang presiden akan terkena imbasnya, yakni harga tahu tempe akan naik ataupun ukurannya diperkecil.