Mohon tunggu...
Feryanto W. K
Feryanto W. K Mohon Tunggu... -

Staf pengajar Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Institut Pertanian Bogor (IPB)

Selanjutnya

Tutup

Money

Kedelai dan Kita

8 Maret 2011   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:58 394
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh,

Feryanto W. Karo-Karo[1]

(Mohon Maaf Artikel Lama, sekitar 3 tahun yang lalu... semoga masih relevan dan bermanfaat).

Akhir-akhir ini, bahkan sampai sekarang jika kita cermat mengkuti perkembangan informasi pertanian di Negara kita. Tentunya sebagai Alumni dari Perguruan tinggi pertanian terbesar di Asia Tenggara kita cukup paham mengenai perkembangan pertanian tersebut. Mungkin, beragam pendapat dan komentar terucap dari diri kita, baik mengenai kenaikan berbagai bahan makanan pokok yang belakangan ini naik secara bersamaan. Mana lagi perkembangan pertanian yang kata sebagian pengamat, tidak tentu arah pembangunannya, dimana pendapat ini perlu dibuktikan secara ilmiah obyektif, tidak hanya berdasarkan pendapat pribadi tanpa dasar dan referensi yang valid, tentunya akan menyesatkan publik.

Di tulisan ini, saya ingin berbagi informasi mengenai kasus komoditas kedelai, yang sempat “menggegerkan” perekonomian nasional. Disini saya ingin mengulas sedikit mengenai kedelai, mengapa harga kedelai mengalami kenaikan yang sangat tinggi dan pemerintah tidak sanggup membendungnya, serta bagaimana solusinya. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi yang dikaitkan dengan ilmu yang pernah dan sedang saya dalami sebagai seorang ekonomi pertanian (konsentrasi kebijakan dan pembangunan pertanian) dengan major ilmu agribisnis.

Cukup menarik jika kita cermati, mengapa kedelai menjadi isu yang sangat krusial dinegara kita ini, terlepas apakah kedelai terkait dengan kepentingan politik atau tidak (saya tidak akan membahasnya), tapi saya ingin menceritakan dari sisi akademisi yang tentunya seseorang yang bebas nilai dan terlepas dari kepentingan manapun. Karena begitulah seharusnya seorang akademisi atau ilmuwan.

Kenaikan kedelai yang cukup signifikan dari Rp. 2.500-Rp. 3.000/kg menjadi Rp. 7.500/kg, merupakan suatu lonjakan yang sangat besar (hampir 250-300%), kondisi ini tentunya sangat memukul industri pengrajin tahu tempe, tapi disatu satu sisi, berdampak positif bagi petani kedelai karena harga lokal ikut terangkat harganya, walaupun tidak setinggi harga kedelai impor, yakni dikisaran Rp. 6.000/kg. Namun, setelah kenaikan harga kedelai, kita baru mengetahui bahwa makanan favorit saudara-saudara kita sebangsa dan setanah air, 70% dari kebutuhan kedelai nasional kita dipasok dari luar negeri. Dimana jumlah kebutuhan kedelai nasional kita sebesar 1,8 juta ton, dan total impor kita sebesar 1,3 juta ton. Sedangkan jumlah produktivitas kedelai kita rata-rata 1,3-1.5 ton per hektar dengan jumlah lahan kedelai kita yang tinggal 400.000 ha, sehingga produksi kedelai nasional kita sekarang sekitar 600 ribu ton pada (2007).

Kenaikan harga kedelai yang terjadi akhir-akhir ini, disebabkan oleh beberapa factor, baik yang berasal dari luar negeri dan dalam negeri. Namun, penyebab utama kenaikan harga kedelai pada saat ini, dikarenakan oleh faktor luar negeri, yakni (1), Di Amerika Serikat (AS), petani kedelai berlomba-lomba mengkonversi lahan kedelainya untuk ditanami jagung, sehingga supply kedelai di pasaran dunia turun drastis, sehingga menyebabkan harga kedelai ikut terdongkrak (sesuai hukum supply-demand). Kenaikan permintaan jagung berimbas akibat trade off keinginan pemerintah AS untuk mencapai target 3,5 Milyar gallon bahan bakar biofuel. Hal ini memberikan rangsangan yang sangat besar bagi petani AS berlomba untuk menanam jagung karena harga jagung sangat mahal. (2), Pemerintah China menaikkan tariff ekspor kedelai di negaranya sebesar 30% (dimana kebijakan ini baru pertama sekali dilakukan pemerintah dimanapun untuk produk pertanian), hal ini dilakukan oleh pemerintah China, karena kebutuhan kedelai mereka juga mengalami peningkatan yang cukup signifikan dan harga kedelai mereka di dalam negeri cukup tinggi, maka untuk menstabilkan harga dan pasokan kedelai di China, pemerintah China meningkatkan tarif ekspornya. Dengan demikian lagi-lagi pasokan kedelai di pasaran dunia mengalami penurunan.

Sebagaimana kita ketahui bersama, kalau AS dan China merupakan produsen utama kedelai dunia (hampir 60-70%). Ketika mereka sepakat untuk mengurangi produksi kedelainya (dengan permasalahan di negaranya), menyebabkan harga dunia akan naik. Hal ini tentunya akan berimbas bagi pengusaha dan konsumen yang membeli dan membutuhkan kedelai sebagai bahan baku industrinya di dalam negeri.

Sedangkan faktor dalam negeri j terdiri dari: (1), Produksi nasional kita, dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan. Hal ini diakibatkan karena kurangnya teknologi yang mampu meningkatkan produktivitas kedelai lokal kita, karena kedelai adalah tanaman sub-tropik. Berkurangnya lahan untuk menanam kedelai, dikonversi ke komoditas lain, serta dari dulu kebijakan komoditas pertanian kita hanya berfokus pada tanaman padi. Dan yang tak kalah penting, akibat dari kebijakan pemerintah masa lalu, dimana para penganut “perdagangan bebas” dan prinsip ekonomi klasik, yang mengatakan bahwa jika harga di pasaran dunia suatu komoditas lebih rendah dari harga dalam negeri, maka lebih baik mengimpor daripada memproduksi sendiri karena biayanya akan lebih murah bila dibandingkan kita harus memproduksi sendiri. Kebijakan impor yang diambil oleh pemerintah, walaupun tetap menetapkan tariff bea masuk sebesar 10%, yang tetap memberikan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan harga kedelai local. Ternyata impor tersebut, membuat kita terlena, sehingga pondasi dan esensi yang sebenarnya, bahwa kita juga harus mempersiapkan sistem agribisnis komoditas kedelai dalam negeri kita. Sehingga dengan kondisi yang terjadi sekarang, kita tidak mampu berharap banyak dari pasokan dalam negeri sehingga menyebabkan banyak pihak yang rugi. Dan (2) Kenaikan harga kedelai, menurut informasi ternyata juga dikendalikan oleh 4 perusahaan besar yang memegang izin impor di negara ini, sehingga tidak menutup kemungkinan mereka melakukan praktek oligopoli, dimana dimungkinkan untuk melelakukan kartel. Berdasarkan teori, jika hal itu benar berarti harga yang terbentuk pastilah diatas harga pasar persaingan. Untuk pendapat ini tentunya harus dibuktikan secara ilmiah, apakah benar. Hal itu bisa diuji dengan S-C-P (Structure-Conduct-Performance market), CR4 dan UU monopoli yang kita miliki yang dapat diuji oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).

Sehingga dengan berbagai kondisi diatas, sekarang sudah relatif “jelas” mengapa harga kedelai di dalam negeri ‘merangkak’ naik. Pada saat kondisi sekarang, sebagai negara dengan small open economi, kita tidak dapat menghindar dan berbuat banyak, karena kita bukan sebagai price maker, tetapi sebagai penerima harga (price taker) dipasar internasional. Sehingga kenaikan tersebut akan terus memberikan imbas bagi kita. Sehingga, para pecinta tahu tempe, baik itu dari seorang pemulung sampai seorang presiden akan terkena imbasnya, yakni harga tahu tempe akan naik ataupun ukurannya diperkecil.

Solusi

Seperti kata orang bijak, tak baik hanya mengkritik tanpa memberikan solusi. Perlu diketahui para pembaca, tulisan ini bukanlah suatu kritik, tetapi bagaimana kita agar paham mengapa harga kedelai mengalami kenaikan yang siginifikan, walaupun demikian saya berusaha untuk memberikan solusi untuk mengatasi masalah tersebut.

Kenaikan harga kedelai tersebut, dalam jangka pendek dalam artian sehari, atau seminggu ataupun sebulan tidaklah langsung bisa turun ke harga semula. Solusi yang ingin saya sampaikan disini, saya bagi dalam dua bagian yakni, solusi dalam jangka pendek dan jangka panjang.

Solusi jangka pendek. Solusi jangka pendek yang dimaksud disini tidaklah kebijakan yang diambil dalam waktu singkat lalu bisa menurunkan harga kedelai dalam waktu satu atau dua hari. Karena menurut perkiraan perhitungan sederhana saja, harga kedelai akan stabil, itupun pada kisaran Rp 5000-Rp. 6000. dalam waktu sekitar 6 sampai 9 bulan kedepan. Solusi pertama yakni, untuk meningkatkan pasokan di dalam negeri pemerintah harus meningkatkan stok nasionalnya, yakni dengan mengeluarkan kebijakan kepada para perusahaan pemegang izin impor untuk mengeluarkan pasokan ataupun stoknya ke pasar, agar harganya tidak terlalu tinggi. Disini perlu ketegasan dan tekanan dari pemerintah, Karena pemerintah mempunyai peran dan fungsi sebagai regulator. Kedua untuk meningkatkan supply, dalam jangka pendek pemerintah harus meningkatkan impor, yakni dengan melakukan kebijakan subsidi impor (pemerintah menganggung sebagian harga di pasaran dalam negeri), namun hal ini juga akan sulit dilakukan karena pemerintah tidak memiliki dana yang cukup dan dibutuhkan waktu sekitar 5-7 bulan untuk melakukan kebijakan impor dan sampai barang tiba di dalam negeri. Ketiga, yang dapat dilakukan pemerintah dengan waktu yang relatif singkat adalah menurunkan tariff impor (sebesar 10%), menjadi nol persen. Sehingga kedelai bisa masuk dengan harga yang relatif murah. Namun, ternyata kebijakan tersebut juga tidak efektif karena harga tetap mahal. Penurunan tariff impor dari 10% menjadi 0%, hanya menurunkan harga senilai Rp. 750,- (dari harga Rp. 7.500), sehingga harga kedelai sekarang menjadi Rp. 6.750. Namun, kebijakan ini untuk sementara adalah kebijakan yang dapat dikatakan digunakan oleh para pengambil kebijakan untuk menangkan pasar dalam negeri. Keempat, kebijakan yang saya rasa perlu dicoba, adalah pemerintah harus menghimbau para perajin tahu tempe untuk menggunakan kedelai dalam negeri walaupun kualitas yang dihasilkan tidak begitu bagus, dan kualitasnya masih jauh dari yang diharapkan, serta pengrajin tahu tempe diminta untuk melakukan diversifikasi dalam penggunaan bahan baku tahu tempe, seperti penggunaan singkong, kacang tanah, dan kacang hijau.

Solusi jangka panjang. Jika kita berbicara jangka panjang, maka kita akan berbicara strategi dan kemampuan bangsa untuk mampu memenuhi kebutuhan pangan warganya secara mandiri, sebagaimana yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 dan UU No 7 tahun 1999 mengenai pangan. Pertama, pemerintah harus meningkatkan supply kedelai nasional dengan memperhatikan penggunaan bibit unggul, menggunakan tekonologi dan memperluas areal tanaman kedelai. Hal ini tentu tidak langsung diperoleh dampaknya dan juga pemerintah tidak mampu mengerjakannya sendiri, diperlukan upaya kolektif untuk dapat mewujudkan ini. Peran perguruan tinggi dan LSM (lembaga swadaya masyarakat), serta petani dibutuhkan agar program yang dijalankan dapat berjalan dengan mestinya. Untuk memperoleh bibit unggul dapat diperoleh dari lembaga-lembaga penelitian yang banyak jumlahnya serta perguruan tinggi pertanian yang saya yakin akan siap membantu, dan itu merupakan kewajiban dari perguruan tinggi sebagai bagian Tri Dharma Perguruan Tinggi. Hanya permasalahan yang dihadapi adalah, dukungan dari pemerintah dari segi dana tidak mencukupi untuk melakukan kajian ini, walaupun hasil riset yang dilakukan oleh pergurun tinggi, banyak yang menjadi tumpukan laporan dalam lemari yang hampir tidak pernah digunakan untuk diaplikasikan dilapangan. Kalau melihat kondisi ini, saya teringat kepada ungkapan Gde Prama, dihadapan para konglomerat, pengusaha besar dan profesional Indonesia, beliau mengatakan sekarang bukan lagi zamannya UI, UGM dan ITB tetapi zamannya IPB dan Perguruan tinggi lain yang memiliki fakultas pertanian, sebab sekarang dan beberapa tahun mendatang bisnis yang paling berkembang adalah bisnis yang berbasis kepada sektor pertanian, yakni agribisnis dan agroindustri. Sehingga, dengan demikian jika pemerintah kita mulai sekarang berkonsentrasi terhadap kebijakan ini, saya yakin bahwa 10 atau 15 tahun lagi kita mampu meraih hasilnya, sehingga kita menjadi produsen tanaman tropika terbesar didunia dapat terwujud, dengan kemajuan teknologi dan kebijakan yang berpihak kepada petani dan pertanian akan mampu menggeser kurva supply ke kanan bawah (produksi meningkat). Dan dengan demikian petani yang ada digaris kemiskinan akan mampu beranjak menjadi warga Negara yang memiliki kesejahteraan yang mapan. Hal itu juga akan memberikan multiplier effect bagi masyarakat seluruhnya, karena sektor rill bergerak, dan daya beli masyarakat juga meningkat.

Kedua, solusi kedua dengan melakukan diversifikasi pangan. Hendaknya dimulai dari sekarang kita sudah mampu mengkampanyekan kepada diri kita sendiri, teman kita, dan keluarga bahwa masih banyak makanan (makanan tradisional), yang memiliki tingkat protein dan gizi yang tinggi, seperti Gado-gado, papeda, gudeg, dan jajanan pasar lainnya yang tidak dapat disebutkan satu-persatu karena jumlahnya yang sangat banyak. Ini adalah kekayaan budaya dan kuliner yang luar biasa yang dimiliki oleh bangsa ini, disamping dari kearifan lokal yang harus kita hormati dan ini tidak dimiliki oleh bangsa lain di dunia. Jepang, yang hanya memiliki makanan tradisional tapi sampai sekarang, mampu mempertahankan tradisi tersebut. Pemerintah Jepang dengan perhatian luar biasa mulai pendidikan dasar sudah mewajibkan anak-anak sekolahnya untuk membawa “bekal makanan” kesekolah dengan makanan tradisional, atau bahkan pemerintah Jepang memberikannya secara gratis. Apakah kita mampu seperti Jepang?, jawabannya mampu dan bisa. Mulai dari sekarang, mungkin kita calon Ayah atau Ibu, ataupun yang sudah menjadi orang tua untuk bisa memberikan pendidikan diversifikasi pangan dengan pangan tradisional lainnya yang banyak kita miliki. Bukannnya, anak-anak diajarkan untuk mengkonsumsi bahan makanan yang berbahan baku impor, sehingga ketika harga beras naik, ataupun bahan makanan lain naik, kita mampu mengkonsumsi bahan makanan lainnya yang tentu kandungan protein dan gizinya sama. Hal ini sudah dibuktikan oleh India, selain terkenal mengkonsumsi nasi mereka juga terbiasa makan roti. Sedangkan China dan Jepang selain mengkonsumsi beras mereka sudah terbiasa mengkonsumsi mie. Lalu kita?. Semoga kita mampu menghormati warisan leluhur kita, agar tidak hilang. Agar masalah kenaikan kedelai “ yang sebenarnya tidak perlu dipermasalahkan” ini tidak perlu terulang kembali. Karena keledai pun tidak mau jatuh untuk kedua kalinya dalam lubang yang sama.

Mudah-mudahan tulisan singkat ini, mampu memberikan wawasan, bukan menjadi alat memperkeruh suasana, tapi lebih dari itu mampu mencerahkan dunia pemikiran kita, agar kita tidak salah mengambil kesimpulan dan menyalahkan salah satu pihak. Marilah kita berjuang untuk kemajuan pertanian dan petani di Negara kita, sekali lagi berdasarkan kemampuan dan peran kita masing-masing.

Alloh memberikan akal dan pikiran kepada kita, agar kita dapat berpikir dan berkarya. Karena itu adalah tanda-tanda orang yang beriman dan bersyukur.

Wallahu’alam.

Bogor-Kampus Pertanian Terbesar di Negeri ini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun