Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Ketika Urusan Kasur Dipidanakan seperti dalam RKUHP

19 September 2019   13:33 Diperbarui: 19 September 2019   14:08 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia(DPRRI) periode 2015-2019 sibuk bukan kepalang diakhir periode masa tugasnya, seolah mengejar setoran.  Selepas menyelesaikan UU tentang KPK yang penuh kontroversi, para Legislator saat ini sedang menggarap 4 RUU lainnya, yakni, RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS), dan RUU Sumber Daya Air (SDA). 

Keempatnya menuai kontroversi karena poin beleid yang direvisi dan prosedur pembahasannya dinilai tak melibatkan para pihak yang berkepentingan. Namun, Seluruh RUU itu telah disepakati pemerintah dan DPR dan bakal diketuk palu minggu depan.

Dari keempat RUU itu, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) lah yang paling banyak menyedot perhatian, karena aturan di undang-undang ini akan berdampak langsung dalam kehidupan keseharian rakyat Indonesia.

DPR dan Pemerintah sepakat tanggal 24 Sepetember 2019, RKUHP harus sudah disahkan. Karena menurut keduanya, jika sampai akhir periode belum disahkan, pembahasannya akan dimulai dari nol lagi. Hanya karena itu mereka bersepakat kejar tayang, padahal masih banyak pasal-pasal yang dianggap bermasalah. 

Menurut Ketua DPR Bambang Soesatyo, pasal-pasal yang bermasalah tersebut akan segera diselesaikan "Terus melakukan pembahasan-pembahasan. Di ujung periode kami ini agar kita bisa tuntaskan,"Katanya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (29/08/19) seperti yang dilansir Tempo.co.

Dari sekitar 786 pasal yang dibahas, setidaknya terdapat 13 beleid yang masih dianggap bermasalah, namun saya hanya akan membahas Pasal 417 ayat (1) tentang kriminalisasi persetubuhan antara laki-laki dengan perempuan di luar perkawinan.

Menjadi menarik buat dibahas karena saya merasa Negara terlalu jauh menggunakan hukum pidana untuk masuk pada hak konstitusional warga Negara yang bersifat privat. Berapa banyak penjara harus disiapkan oleh pemerintah untuk menampung para pelanggar Pasal ini.

Dalam KUHP yang saat ini berlaku, zina didefinisikan melanggar hukum apabila persetubuhan dilakukan bila salah satu atau kedua-duanya terikat dalam pernikahan. Namun dalam RKUHP perzinahan diluaskan menjadi seluruh persetubuhan di luar pernikahan. 

"Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II," demikian bunyi Pasal 417 ayat 1 RUU KUHP.

Kendati, dalam ayat 2 nya dituliskan bahwa, Tindak Pidana sebagaimana dimaksud dalam pada ayat(1) tidak dapat dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan, suami, istri, orangtuanya, atau anaknya. Dan Ayat 3, Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum di mulai.

Meski hal ini merupakan delik aduan dan yang berhak mengadukannya adalah 4 pihak tersebut. Ada  kekhawatiran, masyarakat tidak paham bahwa pengaduan terkait kasus Zina ini hanya dapat dilakukan oleh suami, istri orangtuanya, dan anaknya.

Menurut Peneliti Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu  pasal perzinaan dalam RKUHP, akan berdampak meningkatnya kerawanan main hakim sendiri dikalangan masyarakat. "Nanti bisa terjadi main hakim sendiri. Masyarakat kan bisa jadi tidak tahu kalau itu delik aduan. Tahunya kan perzinaan tidak boleh, nanti bisa jadi malah main hakim sendiri," katanya, Kamis (29/08/19) lalu seperti yang dikutip dari Kompas.com.

Selain itu ia beranggapan bahwa pengaduan oleh pihak orangtua, berpotensi menaikan perkawinan anak. Karena Berdasakan catatan ICJR, 89 persen perkawinan anak di Indonesia terjadi karena kekhawatiran orang tua, baik karena faktor ekonomi maupun karena asumsi orangtua bahwa anaknya telah melakukan hubungan di luar perkawinan.

Jika Pasal dalam RKUHP ini jadi diberlakukan, kriminalisasi terhadap perzinahan akan mengurangi efektivitas hukum terhadap kasus perkosaan. Ketika perempuan korban perkosaan sulit membuktikan tindak pidana tersebut, kemudian perempuan tersebut dapat dituduh melakukan perzinahan. 

Komplikasi yang terjadi dilapangan akibat pemberlakukan aturan ini akan banyak terjadi. Pasal 417 merupakan salah satu dari beberapa pasal tentang kesusilaan yang memicu pro dan kontra dari berbagai pihak, artinya pembahasan RKUHP ini masih belum ajeg dan tuntas. Ada baiknya DPR dan Pemerintah mempertimbangkan kembali sebelum disahkan sebagai KUHP yang baru.

Tapi rasanya mereka akan jalan terus seperti mereka mensahkan RUU KPK menjadi UU beberapa hari yang lalu, keduanya sudah buta tuli. Toh Jokowi yang selama ini diharapkan sebagai wakil pemerintah akan berpihak pada rakyat, tak memiliki beban untuk dipilih lagi, oleh rakyat. 

Sumber.
kompas.com
detik.com

https://nasional.tempo.co/read/1242031/13-poin-yang-bermasalah-dalam-rkuhp-versi-icjr

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun