Perekonomian harus dikembangkan melalui perebutan teknologi canggih untuk mengejar ketertinggalan dari negara maju. Indonesia tidak boleh hanya menjadi negara yang hanya bisa memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif, tetapi harus memiliki keunggulan kompetitif. Keunggulan kompetitif itu bisa dicari melalui pengejaran teknologi tinggi.Â
Pemikiran ini sempat tenggelam karena dipandang berseberangan dengan pemikiran Prof Widjojo Nitisastro yang saat itu merupakan penasehat ekonomi Presiden Soeharto yang sangat berkuasa.
Pemikiran Prof Widjojo yang kemudian populer dengan sebutan Widjojonomics ini, berpandangan bahwa negara berkembang hanya bisa memproduksi barang yang memiliki keunggulan komparatif dan kurang diminati oleh negara-negara maju seperti industri tekstil, sepatu, dan lain-lain sepanjang tidak memiliki komponen teknologi tinggi.
Walaupun demikian Habibie berhasil mengimplementasikan konsepnya tersebut ketika membangun Industri Pesawat Terbang Nurtanio (IPTN). Sayang IPTN harus terseok-seok akibat krisis moneter 1998 serta Letter of Intens IMF dan pemerintah Indonesia, yang salah satu isinya memangkas anggaran pemerintah bagi IPTN.
Namun Habibienomics belum bisa diimplementasikan secara menyeluruh, Â sampai hari ini. Karena permasalah ekonomi yang dihadapi Indonesia terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan solusi yang terlalu menyederhanakan masalah.
Karena konsep Habibienomics fokus pada competitive advantage yang mengedepankan teknologi tinggi dalam situasi ekonomi yang begitu komplek seperti saat ini harus ada yang mengiringinya, misalnya behavioral economics untuk mengenal perilaku para pelaku ekonomi.
Melalui pemahaman tentang perilaku tersebut, kita bisa paham mengapa industri berteknologi tinggi berkembang pesat di Jepang, Korea, dan Tiongkok tapi tidak cukup berkembang di Indonesia.
Menurut Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira, Habibienomics untuk saat ini memang belum bisa diimplemantasikan karena ada faktor yang mempengaruhinya.Â
Pertama, dana riset Indonesia masih terlalu rendah, jika sudah diatas 2% dari PDB  jalan menuju  kearah pengembangan teknologi tinggi lebih terbuka.
Kedua, kualitas sumber daya kita masih lemah sehingga untuk bersaing dengan Vietnam saja susah. Saat ini pada Program Penilaian Pelajar International yang mengukur kemampuan membaca, berhitung, dan sains, Vietnam berada di rangking 22 sedangkan Indonesia pada rangking 62.
"Jika kedua faktor itu berhasil dilakukan loncatan ke Habibienomics bisa dilakukan," ujar Bhima, seperti yang dikutip dari IDNTimes.com