Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Refleksi 20 Tahun Lepasnya Timor Timur, Kondisi Papua, dan Pindahnya Ibu Kota

30 Agustus 2019   11:44 Diperbarui: 30 Agustus 2019   11:56 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
beritasesuatu.blogspot.com

Tepat 20 tahun lalu, tahun 1999 bangsa Indonesia mengalami peristiwa besar. Salah satu provinsi di Indonesia  Timor-Timur terlepas dari pangkuan ibu pertiwi. 

Provinsi termuda milik bangsa ini terlepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia setelah jajak pendapat yang dilakukan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 

Lepasnya Timor-Timur ini diringi dengan tragedi kemanusiaan, kerusuhan, kekerasan, pembunuhan, serta menimbulkan pengungsi besar-besaran

Agak sulit untuk dipahami sebenarnya, sampai saat ini tidak ada satu pun kajian komprehensif yang membahas dan mengulas ini, kok bisa setelah lebih dari 22 tahun terintegrasi sebagai bagian NKRI (saat jajak pendapat itu dilakukan) sebagian besar rakyat Timor Timur malah memilih untuk keluar dari Indonesia.

Tidak ada satu pun lembaga di negara ini, baik itu Kementerian Luar Negeri (Kemenlu), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), TNI, Polri, Badan Intelejen Negara (BIN), dan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang melakukan riset dan menganalisa kejadian tersebut, agar menjadi "Lessons Learned"mengenai kejadian lepasnya Timor-Timur ini. Padahal ini merupakan pertama kalinya sebuah provinsi lepas atau tepatnya melepaskan diri dari NKRI.

Entah karena perasaan malu dan trauma, karena merasa kalah yang kemudian membuat suasana pemisahannya saat itu mencoreng kehormatan Indonesia di dunia internasional. 

Sebenarnya ada banyak hal yang bisa diambil sebagai pelajaran dalam epsiode integrasi dan jajak pendapat yang hasilnya membuat  Timor-Timur keluar dari Indonesia.

Pertama, Jajak pendapat dilakukan terlalu cepat, kesepakatan jajak pendapat yang ditandatangani di New York 5 Mei 1999 sedangkan jajak pendapat dilaksanakan 1 Agustus tahun yang sama, berarti kita hanya punya waktu 4 bulan untuk mempersiapkan berbagai hal yang sebenarnya sangat komplek, baik itu disisi teknis, politik, keamanan dan beberapa masalah lainnya.

Saat itu, pemerintah Indonesia berharap saat sidang umum MPR yang dilaksanakan akhir tahun 1999 hasil jajak pendapat itu dapat disahkan. nah karena hal itu pelaksanaannya dipaksakan dengan tenggat waktu yang sempit, maka polarisasi di bawah semakin tajam, konflik horizontal berujung kekerasan pun terjadi, dan hasilnya pun mengecewakan Indonesia.

Kedua, pembangunan ekonomi ternyata tidak otomatis menghasilkan loyalitas politik. Saat itu, dengan predikat sebagai Provinsi termuda, Timor Timur secara ekonomi sangat dimanjakan oleh pemerintah pusat. Anggaran pembangunan perkapitanya tertinggi dibandingkan 26 provinsi lain di Indonesia (saat itu Provinsi di Indonesia berjumlah 27 provinsi).  

Konon katanya itu menimbulkan kecemburuan provinsi-provinsi lain. Pembanguna infrastruktur berupa jalan, jembatan, gedung-gedung dilakukan dengan  masif di provinsi itu, padahal Pendapatan Asli Daerah (PAD) nya sangat kecil. Dan Kemudian kondisi ekonomi itu dibandingkan oleh pemerintah saat itu dengan masa di bawah penjajahan Portugis. 

Namun kucuran uang yang begitu deras ternyata tidak mampu merubah pilihan politik rakyat Timor Timur pada saat jajak pendapat dilaksanakan. 78% rakyat Timor-Timur lebih memilih lepas dari Indonesia, dibanding 21% yang memilih otonomi dalam kerangka NKRI. 

Apapun alasan kita saat itu, kelihatannya kita terlalu cepat puas  dengan alibi ekonomi yang digadang-gadang sebagai sebuah keberhasilan, padahal dampaknya sangat terbatas terhadap konflik politik di Timor-Timur saat itu.

Sebetulnya apabila pemerintah memiliki kajian dan analisa akurat terkait lepasnya Timor-Timur ini. Hasil kajiannya bisa dipakai untuk mengatasi situasi di Papua yang sekarang sedang bergejolak, walaupun memang persoalannya agak berbeda. Saat itu Timor-Timur benar-benar di dukung oleh pihak luar termasuk dalam hal ini PBB, karena sudah masuk dalam agenda permasalahan internasional. 

Berbeda dengan Papua, walaupun sudah diusahakan oleh beberapa oknum untuk di bawa ke kancah internasional namun tidak berhasil membuat isu Papua menjadi Isu dunia. 

Namun demikian bukan berarti pemerintah bisa tenang-tenang saja, kemarin (29/08/19) kerusuhan kembali terjadi, setelah di Manokwari, Sorong, dan Fak-Fak, kali ini di Jayapura. 

Gedung Majelis Rakyat Papua (MRP) dibakar, gedung Telkom dibakar sebagian dan dirusak, ruko-ruko dibeberapa wilayah Jayapura di bakar. Kondisi ini membuat seluruh wilayah Jayapura praktis lumpuh. Kegiatan bekerja dan sekolah berhenti karena keduanya meniadakan kegiatan.

Apakah pendekatan kekuasaan dan keamanan akan selalu menghasilkan sesuatu yang positif? penghentian layanan internet di Papua merupakan salah satu pola pendekatan kekuasaan, begitu pula penambahan personil TNI/Polri dari berbagai daerah di Indonesia. 

Tidak kah pemerintah itu belajar dari kejadian di Timor-Timur, yang saat menjelang jajak pendapat membentuk milisi dan menerjunkan banyak sekali pasukan, malah kemudian melahirkan tragedi berdarah.

Presiden Jokowi seharusnya mencoba menenangkan mereka dengan berkunjung langsung ke sana. Walaupun saya tahu mungkin faktor keamananlah yang mengahalanginya untuk pergi kesana. 

Atau paling tidak ajaklah para tokoh Papua itu bertemu di posisi netral, tidak di Jakarta, namun di calon Ibukota Negara (IKN) baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.

Bukankah salah satu tujuan kepindahan IKN itu sebagai simbol bahwa pemerintah akan memeratakan pembangunan tidak seperti selama ini Jawa-Sentris. 

Berada persis ditengah-tengah wilayah Indonesia, itu menandakan tidak akan lagi cenderung ke barat, namun timur pun akan lebih diurusi dengan lebih serius.

Pemindahan IKN mungkin merupakan usaha Jokowi agar Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak harus merasakan kehilangan lagi anaknya, seperti Timor Timur saat itu.

Sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun