Namun kucuran uang yang begitu deras ternyata tidak mampu merubah pilihan politik rakyat Timor Timur pada saat jajak pendapat dilaksanakan. 78% rakyat Timor-Timur lebih memilih lepas dari Indonesia, dibanding 21% yang memilih otonomi dalam kerangka NKRI.Â
Apapun alasan kita saat itu, kelihatannya kita terlalu cepat puas  dengan alibi ekonomi yang digadang-gadang sebagai sebuah keberhasilan, padahal dampaknya sangat terbatas terhadap konflik politik di Timor-Timur saat itu.
Sebetulnya apabila pemerintah memiliki kajian dan analisa akurat terkait lepasnya Timor-Timur ini. Hasil kajiannya bisa dipakai untuk mengatasi situasi di Papua yang sekarang sedang bergejolak, walaupun memang persoalannya agak berbeda. Saat itu Timor-Timur benar-benar di dukung oleh pihak luar termasuk dalam hal ini PBB, karena sudah masuk dalam agenda permasalahan internasional.Â
Berbeda dengan Papua, walaupun sudah diusahakan oleh beberapa oknum untuk di bawa ke kancah internasional namun tidak berhasil membuat isu Papua menjadi Isu dunia.Â
Namun demikian bukan berarti pemerintah bisa tenang-tenang saja, kemarin (29/08/19) kerusuhan kembali terjadi, setelah di Manokwari, Sorong, dan Fak-Fak, kali ini di Jayapura.Â
Gedung Majelis Rakyat Papua (MRP) dibakar, gedung Telkom dibakar sebagian dan dirusak, ruko-ruko dibeberapa wilayah Jayapura di bakar. Kondisi ini membuat seluruh wilayah Jayapura praktis lumpuh. Kegiatan bekerja dan sekolah berhenti karena keduanya meniadakan kegiatan.
Apakah pendekatan kekuasaan dan keamanan akan selalu menghasilkan sesuatu yang positif? penghentian layanan internet di Papua merupakan salah satu pola pendekatan kekuasaan, begitu pula penambahan personil TNI/Polri dari berbagai daerah di Indonesia.Â
Tidak kah pemerintah itu belajar dari kejadian di Timor-Timur, yang saat menjelang jajak pendapat membentuk milisi dan menerjunkan banyak sekali pasukan, malah kemudian melahirkan tragedi berdarah.
Presiden Jokowi seharusnya mencoba menenangkan mereka dengan berkunjung langsung ke sana. Walaupun saya tahu mungkin faktor keamananlah yang mengahalanginya untuk pergi kesana.Â
Atau paling tidak ajaklah para tokoh Papua itu bertemu di posisi netral, tidak di Jakarta, namun di calon Ibukota Negara (IKN) baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur.
Bukankah salah satu tujuan kepindahan IKN itu sebagai simbol bahwa pemerintah akan memeratakan pembangunan tidak seperti selama ini Jawa-Sentris.Â