Tadi malam saya baca artikel Kompasiana yang di tulis Kompasioner mba Leya Cattleya. Judulnya cukup Provokatif "Apa yang Anda Lakukan bila Anak Gadis Anda Diperkosa?"Â
Ingatan saya langsung melayang ke anak perempuan semata wayang yang saya sangat sayangi. Dan yang terlintas adalah saya akan memperlakukan pemerkosa tersebut seperti yang dilakukan Carl Lee Hailey dalam film berjudul A Time to Kill yang merupakan adaptasi dari novel buah pena John Grisham seorang penulis sekaligus pengacara profesional lulusan Yale University, salah satu perguruan tinggi terbaik di Amerika Serikat.
Genre film drama persidangan merupakan salah satu favorit saya. Banyak sekali ilmu yang saya dapat dari menonton film-film bergenre ini. Pengetahuan tentang hukum akan bertambah, walaupun ada perbedaan sistem hukum antara Amerika dan Indonesia.Â
Di Amerika mereka memakai sistem hukum Common Law sementara Indonesia memakai sistem Civil Law Eropa Continent. Tapi hukum ya hukum yang dibicarakan ujung nya tetap keadilan walaupun cara mencapainya memakai sistem yang berbeda-beda.
Kembali ke film A Time To Kill, Film bergenre hukum memang terlihat minimalis dan kalah menarik dengan genre-genre lain seperti action, comedy-romance, horor atau petualangan yang memiliki latar lebih berwarna dan indah dipandang.Â
Bagi saya, drama persidangan menjadi sangat menarik apabila isu-isu yang berkembang di dalamnya melampaui batas ruang sidang itu sendiri. Dalam drama persidangan biasanya eksplorasi karakter-karater yang terlibat di persidangan itu cukup detil. Bagaimana mereka menyusun siasat dalam bersidang untuk memenangkan kasus tersebut, kemudian ketegangan ketika sidang itu berlangsung, bagaimana saksi-saksi dihadirkan.Â
Terus bagaimana kasus yang sedang mereka hadapi itu mempengaruhi kehidupan pribadi mereka. Ya kalau menurut saya sih, genre ini sangat berbobot, bukan hanya hiburan semata yang akan kita nikmati namun  insight dan knowledge juga akan kita dapatkan.
A Time To Kill adalah salah satu film drama persidangan yang paling saya sukai. Bagi saya yang menarik dari film ini pengembangan  isu perkosaan yang di latarbelakangi rasialisme dalam alur ceritanya. Setiap kasus hukum yang dipermasalahkan tentunya tentang pencarian kebenaran dan keadilan.Â
Namun bagaimana jika proses hukum dalam kasus tersebut mengancam tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada sebelumnya. Di satu sisi setiap pelanggar hukum apapun alasannya harus dijatuhi hukuman  sesuai dengan hukum yang berlaku dan kejahatan yang dilakukannya, tapi di sisi yang lain ternyata hukum juga bisa tidak absolut-absolut amat. Bila hati nurani penegak hukum berbicara. Begitulah kira-kira premis film A Time To Kill ini.
Carl Lee Hailey (Samuel.L. Jackson) seorang ayah berkulit hitam hatinya luluh lantak ketika mendengar kabar dari istrinya. Bahwa anak bungsu mereka, Tonya Hailey yang baru berumur 10 tahun diperkosa, dianiaya, dan hampir mati dibunuh oleh dua orang "redneck" bule udik.Â
Bergegas pulang Carl melihat sang anak terbaring sekarat, wajah dan tubuh babak belur penuh darah, dan rahimnya rusak sehingga tidak mungkin lagi punya keturunan. Sebagai seorang ayah, demi melihat anaknya dalam kondisi seperti itu hatinya hancur berkeping-keping, sesaat kemudian kemarahannya pun membuncah, pikirannya menjadi gelap. Dia beranjak pergi untuk menghabisi 2 orang pemerkosa Tonya, bersenjatakan senjata laras panjang, ia memberondong dan mengakhiri hidup dua orang pemerkosa Tonya.
Tadinya kasus hukum menimpa dua orang pemerkosa tadi, jadi berbalik mendakwa dirinya. Kasus ini pun menjadi sorotan berbagai pihak termasuk media. Dengan bermodalkan pengharapan untuk mendapat simpati serta pertemanan, daripada upah yang besar. Carl Lee, menyewa Jake Brigrance (Matthew Mcconaughey) sebagai pengacaranya.Â
Jake bersimpati pada Carl Lee karena dia tahu Tonya diperkosa, dan ia pun memiliki anak gadis cilik seusia Tonya. Emosinya terbakar, ia ikut merasakan penderitaan dan kemarahan Carl Lee. Besama temannya Harry Rex (Oliver Platt) kemudian menyusul bergabung Ellen Roark (Sandra Bullock) Mahasiswihukum asal New York yang cerdas dan ambisius, menyusun pembelaan, melawan jaksa wilayah yang yang licik dan ambisius serta haus popularitas Rufus Buckley (Kevin Spacey)
Persidangan yang di pimpin oleh Hakim Omar Noose ( Patrick Mc Goohan) sempat akan dipindah karena mengkhawatiran netralitas juri namun sang jaksa bersikeras agar persidangan tetap dilakukan di Canton County tempat terjadinya perkara. Akhirnya persidangan tetap dilakukan di Canton.Â
Persidangan demi persidangan terus dijalani oleh Carl Lee didampingi kuasa hukumnya, suasana terus bereskalasi memanas. Isu rasial  baunya mulai menyengat, Ku Klux Klan yang selama ini hibernasi di daerah tersebut tiba-tba terbangun dan mulai bergerak menampakan wajahnya.Â
Demikian pula organisasi pembela hak-hak kulit hitam ACLU melakukan pergerakan serupa. Isunya mulai naik menjadi isu nasional. Ku Klax Klan mulai beringas mereka mulai meneror Jake dan keluarganya sampai puncaknya rumahnya dibakar orang tak dikenal, untungnya Istri dan anak Jack sudah mengungsi kerumah orang tua istrinya.Â
Korban jiwa memang dapat dihindarkan namun teror terus berlangsung. Sang istri mulai kehilangan kesabaran dengan kasus Carl lee ini. Jake dalam kondisi tertekan, sampai akhirnya fatique dan frustasi menyerangnya, ia membela seorang negro  yang merupakan kaum marginal, dan jelas-jelas bersalah kemungkinan menang pun 1 berbanding sejuta, karena menembak mati 2 orang kulit putih plus satu polisi menjadi cacat, dibayar seadanya pula.
Akhirnya  sampailah ia di satu titik, ia menyerah dan menyarankan Carl Lee untuk mengaku salah dan berkompromi dengan Jaksa agar tidak dihukum mati tapi cukup di penjara seumur hidup. Saat Jake dalam posisi nadir, Carl Lee menceritakan bahwa alasan sebenarnya Jack dipilih sebagai pengacaranya  adalah karena ia adalah berkulit putih, ia dapat membuka mata hati para juri yang semuanya juga berkulit putih.Â
Dengan memosisikan dirinya sebagai sesama kulit putihlah ia bisa mengubah pandangan orang-orang yang diskriminatif. Di sinilah titik bailk Jake. Ditambah lagi, guru sekaligus sahabatnya, Lucien Wilbanks (Donald Sutherland) selalu mengingatkannya bahwa ia tak bisa mundur begitu saja. Menjadi pengacara adalah pekerjaan yang terhormat, mencari keadilan bagi semua orang, dan itu harus diperjuangkan hingga tetes darah terakhir.
Sutradara Joel Schumacher, sangat cermat dan berhasil membuat ending dari drama persidangan ini. Jake melakukan closing statement dihadapan dewan juri dalam persidangan terakhir sebelum putusan dibacakan. Ia bermonolog dengan sempurna untuk menggugah hati dewan juri.Â
Setiap kata yang keluar dari mulut Jake membuat dewan juri tertegun dan tergugah. McConaughey sangat baik membawakan perannya sebagai pengacara yang lelah, pasrah, sekaligus optimis. Ia berbicara dengan mata berkaca-kaca, suara begetar, helaan napas panjang yang dapat membuat setiap orang terhenyak.
Film A Time To Kill ini mengingatkan kita bahwa hukum itu harus dicari, karena terkadang hukum itu tersembunyi jauh dari kemampuan kita untuk melihatnya. Oleh karena itu kebenaran dan keadilan tidak hanya bisa dilihat dan ditegakkan oleh akal dan pikiran kita semata. Butuh hati nurani untuk menemukan hukum yang hakiki dan setara bagi semua orang.
Film Legal thriller yang sangat menggugah, cerdas, penuh makna dan insightfull, berharap ada film sejenis yaang digarap insan-insan perfilman nasional. Yang mampu memberikan tuntunan bukan hanya tontonan.
Sumbe: hendriologi.blogspot.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H