Mohon tunggu...
Fery. W
Fery. W Mohon Tunggu... Administrasi - Berharap memberi manfaat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penikmat Aksara, Musik dan Tontonan. Politik, Ekonomi dan Budaya Emailnya Ferywidiamoko24@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kreativitas dan Inovasi (Bisa) Bebaskan Indonesia dari Dekapan "Middle Income Trap"

20 Mei 2019   06:56 Diperbarui: 20 Mei 2019   10:12 997
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

World Bank mengklasifikasikan perekonomian sebuah negara ke dalam tiga kategori menurut pendapatan per kapita yaitu, negara dengan pendapatan per kapita kurang dari USD 1.045, negara berpendapatan menengah dengan pendapatan per kapita antara
USD 1.045 hingga USD 12.746, dan negara berpendapatan tinggi dengan pendapatan per kapita diatas USD 12.746.

Indonesia menurut Data Biro Pusat Staistik (BPS) tahun 2018 memiliki besaran pendapatan perkapita USD 3.927 atau sekitar Rp. 56 juta per tahun. Dengan pendapatan per kapita sebesar itu Indonesia termasuk kedalam negara berpendapatan menengah level atas ( upper middle income country) naik  dari tahun 2017 yang berada dinegara berpendapatan menengah bawah (lower middle income country) dengan per kapita sebesar USD 3.876 setara dengan Rp.51,89 juta , naik sebesar 7,92 persen.

sumber: CNN
sumber: CNN

Menggembirakan memang, tapi Indonesia masih saja berada di wilayah negara yang berpendapatan menengah. Bisakah kita naik peringkat menjadi negara berpendapatan tinggi atau akan terus berada di zona tengah dan tidak akan mampu naik kelas? Dengan kata lain  terjebak sebagai negara dalam dekapan " middle income trap"

Middle income trap istilah yang diberikan kepada negara-negara berpendapatan menengah yang terjebak diposisinya  dan tidak mampu melakukan lompatan menjadi negara maju baru, melalui kenaikan pendapat per kapita sesuai standart level tertentu yang sudah ditetapkan. Jadi seolah-olah negara ini terkunci ditengah (stuck  in the middle) diposisinya sebagai negara berpendapatan menengah.

Lebih mudah menaikan level pendapatan rendah menjadi menengah, dibandingkan melakukan lompatan dari negara berpendapatan menengah menjadi negara berpendapatan tinggi.

Pada saat negara itu masih ada dalam level miskin, negara itu bisa memanfaatkan kemiskinannya untuk membangun daya saing misalnya upah buruh rendah untuk memacu pertumbuhan industri manufaktur seperti tekstil atau sepatu untuk mendorong pertunbuhan ekonomi. Yang pada gilirannya akan menaikan pendapatan masyarakat.

Tetapi industri manufaktur berbasis upah buruh rendah tidak akan sustainable. Seiring dengan meningkatnya pendapatan, maka ongkos upah buruh pun akan meningkat. 

Kalau ini terjadi maka produk-produk yang dihasilkan berbagai industri tersebut tidak lagi kompetitif di pasar internasional. Kalau tidak kompetitif, maka industri-industri tersebut tak mampu berkembang, akibatnya pertumbuhan ekonomi negara menjadi terkendala.

Kenapa negara-negara itu stuck in the middle, penjelasannya sebenernya sederhana. Mereka biasanya terlena dengan kenyamanan berada di level kelas menengah seolah telah lepas dari beban karena kesulitan yang dirasakannya disaat mereka berada di level pendapatan rendah. 

Sehingga mereka lupa masih harus berjuang menuju level negara maju baru. Pengembangan sumber daya manusia (SDM) dibangun seadanya, inovasi tidak dilakukan dengan maksimal, pertumbuhan ekonomi tidak terjaga dengan baik. 

Menurut Asian Development Bank (ADB) ada 4 ciri sebuah negara masuk kategori middle income trap ciri yang pertama rasio investasi (invesment to GDP ratio) rendah, kedua pertumbuhan industri manufaktur rendah, ketiga diversifikasi industri rendah dan yang terakhir, kondisi pasar kerja buruk.

Untuk bisa naik kelas menjadi negara maju baru dan terhindar dari jebakan pendapatan menengah, suka tidak suka negara tersebut  harus berinovasi dan mengelola SDM /capital yang dimiliki menjadi lebih produktif.  Riset dan pengembangan ditingkatkan serta upskill kemampuan SDM menjadi lebih berkualitas. Middle income trap bisa dilewati apabila kemajuan negara di dukung oleh "otak"bukan "otot".

Lihat Korea Selatan sukses keluar dari middle income trap, mereka berhasil mengatasi keempat jebakan tersebut dengan menggunakan industri kreatif berbasis teknologi. Teknologi terkait erat dengan Research and Development dan kemampuan Sumber daya manusia (SDM. yang mendorong industri manufaktur maju berbasiskan teknologi tinggi dan inovasi. 

Siapa yang tidak kenal Samsung, LG atau Hyumdai, mereka menjadi motor pertumbuhan ekonomi Korea Selatan. Artinya apabila negara lain bisa mencontoh bagaimana Korsel membangun ekonominya melalui kreativitas dan inovasinya, begitupun Indonesia .

Indonesia sudah berada dalam  kategori negara berpendapatan kelas menengah, memiliki pendapatan diatas USD 3000 namun 9 tahun pasca menyentuh angka itu, kita tidak bergerak kemana-mana stuck in the middle. Harus ada usaha lebih dan konsisten agar mampu melompat mendapatkan predikat negara maju baru berpendapatan diatas USD 12.000.

Melihat hal ini, merujuk pada buku The Rise of Creative Class (2002) yang ditulis oleh sosiolog dan Ekonom dari  Carnagie Mellon  University Pittsburg USA, Richard Florida. Dalam bukunya, Richard menulis bahwa komunitas masyarakat kreatif yang akan mampu memacu pertumbuhan ekonomi sebuah negara. Melalui kemampuan alat pikir yang dimanifestasikan lewat kreatifitas dan inovasi yang dimilikinya. 

Di jaman digital seperti hari ini rasanya kreatifitas dan inovasi itu seperti menmukan pasangannya, generasi milenial yang lahir diatas tahun 1980 ditambah dengan 24 persen nya merupakan generasi Z yang lahir  diatas tahun 2000 yang memiliki keakraban terhadap hal-hal digital mendominasi struktur demografi Indonesia.

Mereka ini yang diharapkan bisa membawa Indonesia lolos dari jebakan pendapatan menengah. Banyak profesi baru akan lahir buah dari kreatifitas dan inovasi digital. Meskipun masih akan ada profesi lama yang berbasis hal yang sama tetap eksis, seperti seniman/artis, creative director, pengrajin handycraft, arsitek dan lain sebagainya.

Kelas menengah yang bisa diidentikan dengan kelas masyarakat yang memiliki kreativitas dan inovasi yang tinggi, di Indonesia berjumlah 143 juta jiwa. Dengan pendapatan relatif tinggi, diharapkan menjadi lokomotif untuk tumbuhnya perekonimian Indonesia. 

Bukan hanya meng-konsumsi saja atau spending saja, tetapi membangun komunitas "creative class" yang memiliki produktifitas tinggi, menciptakan banyak lapangan kerja, dan cawe-cawe membangun daya saing sumber daya manusia Indonesia. Yang kemudian akan menciptakan kelas kreatif baru.

Kontribusi kelas menengah yang kreatif dan inovatif inilah yang akan membuat Indonesia melompat menjadi negara maju baru. Pemerintah Jokowi telah menjanjikan kartu pra kerja yang bisa digunakan untuk meningkat kapabilitas SDM masyarakat Indonesia. Bahu membahu bersama kelas menengah kreatif dan inovatif akan mampu melepaskan Indonesia terlepas dari "Middle Income Trap".

Sumber :

Kompas.com
Kumpran.com
Yuswohady.com
Katadata.com
Faisalbasri.com
The Rise of Creative Class  (2002) Richard Florida

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun