Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Efesiensi atau Realokasi, Menelisik Kebijakan Pemotongan Anggaran ala Pemerintahan Prabowo

30 Januari 2025   14:34 Diperbarui: 30 Januari 2025   18:46 400
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Winter is coming.

Begitulah ujaran bernada sinis, bercampur kekhawatiran yang diucapkan oleh sebagian Aparatur Sipil Negara (ASN) terkait pemotongan anggaran belanja di seluruh Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah daerah seperti yang tertuang dalam Instruksi Presiden (Inpres)nomor 1 tahun 2025 tentang Efesiensi dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2025.

Alokasi Anggaran yang Dipangkas

Pemotongan anggaran belanja ini dilakukan untuk penghematan, yang berasal dari dua sumber utama, yaitu:

Pertama, pemotongan anggaran belanja Kementerian dan Lembaga sebesar Rp256,1 triliun, sekitar 22 persen dari total anggaran Kementerian dan Lembaga yang sebesar Rp1.160 triliun. Kedua, efesiensi dari alokasi dana transfer ke daerah sebesar Rp50,59 triliun

Jadi secara keseluruhan pemotongan anggaran yang dilakukan Pemerintahan Prabowo di tahun anggaran 2025 sebesar Rp306,69 triliun, sekitar 8,5 persen dari nilai total APBN 2025.

Menurut Inpres tersebut, terdapat 16 pos yang harus dipangkas demi memenuhi pagu penghematan anggaran tersebut, yaitu:

  • Alat Tulis Kantor dipotong 90 persen 
  • Acara seremonial, 56,9 persen 
  • Rapat, seminar dan sejenisnya, 45 persen
  • Kajian dan analisis, 51,5 persen
  • Diklat dan Bimtek, 29 persen
  • Honor, 40 persen
  • Percetakan dan Souvenir, 75,9 persen
  • Sewa gedung, kendaraan, dan peralatan, 73,3 persen
  • Lisensi aplikasi, 21,6 persen
  • Jasa konsultan, 45,7 persen
  • Bantuan Pemerintah, 16,7 persen
  • Pemeliharaan dan perawatan, 10,2 persen
  • Perjalanan dinas, 53,9 persen
  • Peralatan dan mesin, 28 persen
  • Infrastruktur, 34,3 persen
  • Belanja lain-lain, 59,1 persen.

Tribunjabar.id
Tribunjabar.id

Alasan Pemotongan Anggaran

Menurut Kementerian Keuangan selaku pengatur arus keluar masuk keuangan negara, langkah penghematan ini, dalam bahasa normatifnya, dilakukan demi memberi ruang fiskal yang cukup untuk menjaga ekonomi nasional di tengah tantangan dan dinamika ekonomi global yang masih terus mencari titik ekuilibrium baru, pasca pandemi, situasi geopolitik, dan terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat.

Meskipun, menurut berbagai sumber informasi yang saya dapatkan, hasil penghematan ini kemungkinan besar bakal dialokasikan untuk mendukung delapan program prioritas Pemerintahan Prabowo, termasuk pembangunan sekolah unggul, kartu kesejahteraan sosial, subsidi energi, penyediaan lumbung pangan, dan terutama untuk membiayai program signature Pemerintahan Prabowo, Makan Bergizi Gratis (MBG)

Nah, for the shake of program jagoannya itu, seperti dilansir Kompas.id, Prabowo meminta tambahan alokasi anggaran Rp100 triliun, untuk memperluas cakupan program agar penerima manfaatnya lebih banyak terjangkau, dalam hal ini anak-anak, ibu hamil dan ibu menyusui di seluruh wilayah Indonesia, pada tahun 2025 ini.

Tapi mbo yah ojo kesusu toh mas, dari awal persiapan progran MBG, kan dirancang bergerak secara bertahap, 20 persen dari total luas cakupan setiap tahunnya.

Dengan total penerima manfaat yang menurut Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hendaryana, berjumlah sekitar 8,9 juta jiwa, dan diproyeksikan menelan dana di kisaran Rp400 triliun, di tahun pertama ini membutuhkan Rp80 triliun.

Artinya setelah ditambah dengan biaya "membangun" sistem birokrasi dan administrasi, karena institusi yang mengurus program MBG, baru didirikan, wajar lah penambahannya sekitar Rp10 hingga Rp20 triliun dari pagu anggaran MBG yang telah ditetapkan dalam APBN 2025, yang sebesar Rp71 triliun.

Seandainya, anggaran tambahan sebesar Rp100 triliun tersebut benar direalisasikan, tak salah juga jika ada banyak pihak yang menganggap program MBG ini dilaksanakan tanpa perencanaan yang matang, kesannya seperti terbawa suasana, kalau kata lagu Olivia Newton John sih 'Carried Away.'

Mumpung lagi hype, dengan hiasan kisah di sana sini, ayo kita tambah cakupan dan anggarannya.

Sedari awal kan semua tahu, program MBG ini akan berjalan di tengah constrain ruang fiskal pemerintah yang sangat terbatas, then deal with it.

Jangan sampai mengorbankan alokasi anggaran lain yang sudah firm, dengan mengatasnamakan penghematan.

Karena sejatinya, langkah pemerintah memotong anggaran itu tak bisa disebut juga sebagai penghematan, hanya merealokasi anggaran dari satu titik ke titik lainnya, anggaran yang keluar pada akhirnya akan sama, hanya saja dikeluarkan lewat pintu yang berbeda, yang lain hanya lah skala prioritas dalam pandangan Pemerintah.

Menakar Anggaran yang Perlu Dipangkas dan Pentingnya Reformasi Birokrasi

Tak ada yang salah dengan program MBG, program ini merupakan bentuk investasi Pemerintah dalam rangka mengembangkan kualitas sumber daya manusia Indonesia yang faktanya memang agak tertinggal dibandingkan negara-negara lain.

Tak ada yang salah juga dengan penghematan anggaran, hal tersebut memang sangat penting untuk dilakukan, tapi ya tak bisa gebyah uyah, tanpa melihat relevansinya. Misalnya untuk perjalanan dinas yang anggarannya dipotong lebih dari setengah.

Penerapan pemangkasan anggaran dapat memengaruhi badan atau lembaga yang kinerjanya sangat bergantung pada perjalanan dinas, seperti Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal. 

Pengurangan anggaran perjalanan dinas di Kementerian Luar Negeri dapat berdampak pada penurunan kinerja diplomasi Indonesia. Hal ini dapat mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap kinerja pemerintah secara keseluruhan.

Atau untuk kegiatan seminar dan rapat atau sejenisnya yang anggarannya dipangkas hingga 45 persen, wajar dilakukan di Kementerian Lingkungan Hidup mengingat anggaran mereka menunjukkan bahwa alokasi dana sebesar 70 persen tidak digunakan untuk belanja modal, melainkan lebih banyak dialokasikan untuk belanja pegawai. 

Padahal, anggaran tersebut dapat dimanfaatkan untuk pengadaan bibit tanaman seperti akasia, trembesi, dan mangrove yang memiliki peran penting dalam konservasi lingkungan. 

Namun, faktanya struktur anggaran menunjukkan bahwa sebagian besar dana justru dialokasikan untuk kegiatan sosialisasi, komunikasi teknis, seminar, dan kegiatan serupa lainnya.

Tak semua anggaran perlu dibabat habis-habisan seperti sekarang. Kebijakan pemangkasan anggaran termasuk perjalanan dinas akan mempengaruhi kinerja ASN. Karena, selama ini, sangat sulit bagi pegawai negeri untuk mengurangi dan menghemat anggaran terutama perjalanan dinas tanpa mengorbankan kinerja mereka.

Pengurangan dana belanja pegawai atau perjalanan dinas akan berujung pada pengurangan kegiatan pegawai. Hal ini disebabkan oleh struktur tunjangan yang terkait dengan kegiatan yang dilakukan.

Karena pada dasarnya seperti diungkapkan oleh ahli ekonomi dari George Mason University, Gordon Tullock, dalam bukunya 'The Politics of Bureaucracy' pegawai organisasi publik cenderung menjadi budget maximizer. 

Berbeda dengan organisasi swasta yang memberikan insentif kepada pegawai yang melakukan penghematan, pegawai di organisasi publik tidak memiliki insentif serupa.

Jadi, penghematan anggaran di Kementerian dan Lembaga serta Pemerintah Daerah ingin berhasil perlu dibarengi dengan reformasi birokrasi. 

Reformasi birokrasi merupakan sebuah upaya untuk melakukan pembaruan dan perubahan mendasar terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan dengan tujuan untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance).

Ambiguitas Penghematan Anggaran di Pemerintahan Prabowo

Menariknya lagi, kebijakan pemotongan anggaran dalam rangka penghematan ini, paradoksal dengan bertambahnya nomenklatur kementerian dan lembaga yang cenderung boros.

Kabinet Merah Putih memiliki 48 Kementerian, dengan tambahan 14 Kementerian baru, jauh lebih banyak dibandingkan era pemerintah Jokowi yang berjumlah 34 Kementerian.

Jumlah Menteri/Wakil Menteri, Kepala Badan, dan pejabat lain setingkat Menteri, mencapai 109 orang. Dengan banyaknya jumlah, kementerian, akan menambah pula jumlah eselon 1,2 dan perangkat pegawai pemerintah lainnya.

Hal tersebut sudah dapat dipastikan akan membuat anggaran untuk belanja pegawai dan barang/jasa membengkak. Belum lagi jika bicara penambahan jumlah menteri dan wakil menteri berdampak pada peningkatan belanja operasional rutin kementerian. 

Hal ini disebabkan karena menteri dan wakil menteri menerima gaji, tunjangan jabatan, tunjangan kinerja, tunjangan kesehatan, dan berbagai tunjangan lainnya. Selain itu, fasilitas seperti sopir, ajudan, rumah dinas, dan kendaraan dinas juga harus disediakan. 

Kalau memang penghematan anggaran menjadi keniscayaan bagi pemerintahan ini, dari awal jumlah kementerian dan para pejabatnya pun perlu lebih ringkas, jadi linier dengan isu penghematan yang saat ini dilakukan.

Tantangan dan Dampak Kebijakan Penghematan Anggaran

Pemotongan anggaran dalam rangka efesiensi yang mencapai Rp306,69 triliun, dirasakan menyesakan oleh sebagian besar ASN di kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah, meskipun konsep yang bertujuan untuk efesiensi dan efektifitas secara umum memang sudah seharusnya dilakukan Pemerintah, untuk menjamin dana APBN digunakan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat luas.

Namun demikian, pemerintah perlu mengantisipasi munculnya tekanan terhadap pertumbuhan ekonomi nasional akibat pemangkasan anggaran tersebut.

Kondisi dapat terjadi, apabila objek pemangkasan itu tidak tepat, begitupun dengan realokasi anggaran hasil penghematannya itu.

Seperti mengalihkan belanja modal untuk program tertentu yang memiliki trickle down effect hanya sebatas jangka pendek.Apabila kita perhatikan 16 item yang anggarannya dipangkas cukup dalam, itu memiliki efek rambatan ekonomi yang cukup besar.

Mungkin benar, pemotongan anggaran di satu titik akan memunculan anggaran baru dititik lain sehingga "tumpahannya" akan dirasakan oleh masyarakat yang nantinya dapat mendorong tumbuhnya ekonomi

Oleh sebab itu catatan penting berikutnya terkait kebijakan pemangkasan anggaran adalah perlunya pemerintah menetapkan key performance indicator (KPI) agar realokasi belanja yang telah dilakukan dapat terukur dengan lebih baik. 

Intinya, pengalihan alokasi anggaran yang sama ke belanja modal tidak akan menimbulkan efek negatif pada perekonomian. Sebaliknya, jika pengurangan anggaran dilakukan pada semua pos belanja, termasuk belanja modal, maka konsekuensinya adalah penurunan pertumbuhan ekonomi.

Kesimpulan

Kebijakan pemangkasan anggaran di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto ini menjadi sebuah ironi di tengah ambisi besar untuk mewujudkan Indonesia yang maju dan berdaulat. 

Di satu sisi, langkah ini diambil sebagai upaya untuk menjaga stabilitas fiskal dan memberikan ruang bagi program-program prioritas, terutama program "Makan Bergizi Gratis" yang menjadi andalan presiden.

Namun, di sisi lain, pemangkasan anggaran ini juga menimbulkan kekhawatiran akan dampaknya terhadap kinerja kementerian/lembaga.

Lebih jauh lagi, kebijakan ini juga memunculkan pertanyaan terkait konsistensi dan efektivitasnya. Bagaimana mungkin pemerintah melakukan penghematan anggaran dengan cara memangkas belanja di berbagai sektor, sementara di saat yang sama menambah jumlah kementerian dan nomenklatur baru yang justru berpotensi meningkatkan belanja pegawai dan operasional? 

Inkonsistensi ini tentu dapat menimbulkan keraguan akan keseriusan pemerintah dalam melakukan reformasi birokrasi dan mewujudkan tata kelola pemerintahan yang efisien dan akuntabel.

Oleh karena itu, penting bagi pemerintah untuk tidak hanya fokus pada pemangkasan anggaran semata, tetapi juga melakukan evaluasi yang mendalam terhadap efektivitas dan efisiensi belanja di setiap kementerian/lembaga. 

Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan bahwa realokasi anggaran hasil penghematan dilakukan secara transparan dan akuntabel, serta diprioritaskan untuk program-program yang benar-benar memberikan manfaat nyata bagi masyarakat luas.

Lebih dari sekadar "winter is coming" bagi pengguna anggaran, kebijakan ini seharusnya menjadi momentum bagi pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi secara menyeluruh. 

Reformasi birokrasi yang efektif akan mampu menciptakan birokrasi yang ramping, efisien, dan berorientasi pada pelayanan publik. Dengan birokrasi yang efektif, anggaran negara dapat digunakan secara optimal untuk mencapai tujuan-tujuan pembangunan yang telah ditetapkan.

Pada akhirnya, keberhasilan kebijakan penghematan anggaran ini akan sangat bergantung pada komitmen dan konsistensi pemerintah dalam melaksanakannya. 

Pemerintah perlu memastikan bahwa kebijakan ini tidak hanya menjadi alat untuk menutupi kekurangan anggaran atau membiayai program-program tertentu, tetapi juga menjadi bagian dari upaya yang lebih besar untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik dan berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun