Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III 2024 mencapai 4,95 persen. Angka ini lebih rendah dibandingkan dua triwulan sebelumnya, yang masing-masing tumbuh 5,11 persen dan 5,05 persen (BPS).
Secara nominal, perekonomian Indonesia mengalami sedikit penurunan kecepatan pertumbuhan. Hal ini mengkonfirmasi adanya pelemahan daya beli, tercermin dari konsumsi rumah tangga yang melambat dari 4,93 persen pada triwulan sebelumnya menjadi 4,91 persen di Triwulan III.
BPS menyatakan penurunan konsumsi rumah tangga ini disebabkan faktor musiman karena tidak ada event besar pada periode ini. Hal ini senada dengan pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto, bahwa secara historis, pola pertumbuhan ekonomi triwulan III memang cenderung lebih rendah.
Meskipun demikian, Airlangga meyakini kinerja ekonomi Indonesia cukup solid sepanjang tahun 2024 dengan inflasi terkendali di rentang sasaran 2,5 persen plus/minus 1 persen. Ia membandingkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan Singapura (4,1 persen), Arab Saudi (2,3 persen), dan Meksiko (1,5 persen).
Namun, perlu dicatat bahwa Vietnam mencatatkan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen sepanjang tahun 2024, sementara Filipina berada di kisaran 6-7 persen. Klaim pertumbuhan ekonomi Indonesia yang "solid" dan unbeatable perlu diimbangi dengan realitas di lapangan.
Ekonomi Indonesia memang masih tumbuh positif, namun situasi ekonomi global yang dinamis dan penuh tantangan perlu diwaspadai. Pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini diibaratkan seperti kapal yang berlayar di lautan yang dinamis. Ada ombak dan angin yang mendorongnya maju, namun ada pula arus dan badai yang menghambatnya.
Indonesia memiliki modal yang kuat untuk tumbuh, seperti jumlah penduduk yang besar, struktur demografi produktif, dan sumber daya alam yang melimpah. Konsumsi rumah tangga sebagai motor utama perekonomian masih menunjukkan tren positif, meskipun daya beli masyarakat perlu didorong. Investasi juga terus mengalir, menandakan kepercayaan investor terhadap prospek ekonomi Indonesia.
Inovasi, digitalisasi, dan pengembangan ekonomi hijau menjadi kunci untuk mempercepat pertumbuhan dan menciptakan lapangan kerja. Penguatan fundamental ekonomi, seperti peningkatan kualitas pendidikan dan kesehatan, serta iklim investasi yang kondusif juga penting.
Pertanyaannya, dengan situasi yang dinamis dan penuh tantangan ini, apakah target pertumbuhan ekonomi 8 persen yang dicanangkan Presiden Prabowo realistis?
Menurut anggota DEN, Muhammad Chatib Basri, target tersebut ambisius namun bukan mustahil. Akselerasi pertumbuhan ekonomi menjadi 6-7 persen saja membutuhkan investment rate terhadap GDP sebesar 41-48 persen, sementara saat ini investment rate Indonesia masih di angka 30,6 persen (Ceicdata.com).