Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Di Tengah Dinamika Perekonomian Indonesia saat Ini, Sritex "Too Big To Fail"

26 Oktober 2024   12:52 Diperbarui: 27 Oktober 2024   23:20 766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana kompleks PT Sri Rejeki Isman Tbk atau Sritex di Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah, Kamis (24/10/2024). Perusahaan itu dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Kelas 1A Semarang. (KOMPAS/NINO CITRA ANUGRAHANTO)

Dalam dunia keuangan, ada istilah "too big to fail" yang menggambarkan kondisi di mana kejatuhan suatu entitas ekonomi yang sangat besar dapat memicu krisis sistemik. 

Istilah ini lazimnya digunakan untuk institusi keuangan raksasa seperti Lehman Brothers yang kebangkrutannya memicu krisis finansial global pada tahun 2008. Namun, istilah tersebut tampaknya juga relevan untuk menggambarkan kejatuhan Sritex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Indonesia.

Sritex Terjerembab ke Jurang Kepailitan

PT. Sri Rejeki Isman Tbk, atau lebih dikenal dengan Sritex, yang pernah menjadi kebanggaan industri tekstil nasional, kini terpuruk dalam jurang kepailitan. Hal ini tertuang dalam Putusan Pengadilan Negeri Semarang atas perkara Nomor 2/Pdt.Sus-Homologasi/2024/PN Niaga Smg.

Dalam putusan itu, Sritex dan tiga anak perusahaannya---PT. Sinar Pantja Djaja, PT. Bitratex Industries, PT. Primayudha Mandirijaya---terbukti telah lalai dalam memenuhi kewajiban pembayarannya kepada PT. Indo Bharat Rayon, selaku pemohon berdasarkan Putusan Homologasi 25 Januari 2022.

Kondisi Keuangan Sritex

Laporan keuangan Sritex per 2023 menunjukkan bahwa utang usaha atau liabilitasnya mencapai 1,6 miliar dolar AS atau setara Rp24,8 triliun (kurs Rp15.500 per 1 dolar AS), yang didominasi oleh utang jangka panjang, mencapai 1,49 miliar dolar AS, terdiri dari 858,04 juta dolar AS utang bank, obligasi 371,86 juta dolar AS, dan utang usaha jangka panjang sebesar 92,51 juta dolar AS.

Sementara itu, utang jangka pendeknya mencapai 113 juta dolar AS dengan perincian utang jangka pendek 11 juta dolar AS, utang usaha jangka pendek 31,86 juta dolar AS, dan surat utang jangka menengah 5 juta dolar AS. 

Kerugian perusahaan per kuartal I 2024 mencapai 14,9 juta dolar AS atau sekitar Rp230,95 miliar, naik tajam dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,25 juta dolar AS atau Rp138,75 miliar.

Dalam laporan keuangan tersebut, juga disampaikan bahwa hingga Maret 2024, jumlah karyawan tetapnya sebanyak 11.249 orang, menurun dibandingkan masa yang sama tahun 2023, yang jumlahnya mencapai 14.138 karyawan.

Parahnya lagi, kondisi modalnya pun deep minus, defisitnya mencapai 1,17 miliar dolar AS atau Rp18,13 triliun. 

Kondisi keuangan inilah yang kemudian dianggap mengindikasikan ketidakpastian material bahwa perusahaan tidak lagi memiliki kemampuan untuk meneruskan usahanya.

Dok ANTARA/Saptono 
Dok ANTARA/Saptono 

Dampak Kepailitan Sritex

Jika Sritex dibiarkan pailit dan benar-benar harus gulung tikar, artinya akan ada lebih dari 11 ribu orang yang kehilangan pekerjaannya. Dengan asumsi 1 orang pekerja menanggung 4 orang saja, berarti akan ada 44 ribu orang atau lebih yang seketika terkena dampak langsungnya.

Belum lagi jika kita bicara trickle-down effect-nya dari usaha-usaha di sekitar pabrik Sritex, yang pastinya didominasi oleh UMKM, yang sangat mungkin juga memiliki beberapa karyawan. Begitu banyak orang yang penghidupannya akan dipengaruhi oleh proses kepailitan Sritex ini, dan dampaknya bisa mencapai ratusan ribu orang.

Urgensi Penyelamatan Sritex

Dalam kondisi perekonomian Indonesia seperti saat ini yang sedang penuh dinamika dan tantangan, rasanya relevan apabila Sritex ini "too big to fail"---terlalu besar untuk jatuh. Karena kejatuhan Sritex akan menyeret begitu banyak pihak yang pada akhirnya akan membawa konsekuensi langsung pada perekonomian Indonesia.

Saat ini saja, menurut laporan Kementerian Ketenagakerjaan, dari Januari hingga akhir Agustus 2024 jumlah pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) sudah sebanyak 46.260 pekerja. 

Bahkan menurut Bright Institute, tanpa tambahan dari Sritex, gelombang PHK dari berbagai sektor industri berpotensi mencapai 70 ribu pekerja hingga akhir tahun ini.

Kondisi ini akan memperberat langkah pemerintah untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi yang menurut Presiden Prabowo Subianto sebesar 8 persen, mengingat pertumbuhan ekonomi Indonesia mayoritas disumbang oleh ekonomi rumah tangga domestik. Ketika PHK terjadi di mana-mana dengan jumlah yang cukup masif, sulit untuk berharap pada ekonomi rumah tangga, karena mereka kehilangan penghasilan.

Selain itu, angka kemiskinan yang tadinya ingin diturunkan terancam naik lagi, lantaran keluarga para korban PHK besar kemungkinan akan terjerumus ke jurang kemiskinan karena kehilangan penghasilannya.

Upaya Penyelamatan Sritex

Dengan kondisi ini, upaya penyelamatan Sritex menjadi sangat krusial. Oleh sebab itu, seperti disampaikan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita, Presiden Prabowo telah memerintahkan 4 menteri di Kabinet Merah Putih untuk melakukan upaya penyelamatan Sritex.

Keempat kementerian yang dimaksud, yakni Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan Kementerian Tenaga Kerja.

 "Opsi dan skema penyelamatan ini akan disampaikan dalam waktu secepatnya, setelah empat kementerian selesai merumuskan cara penyelamatan," ujarnya, seperti dilansir CNNIndonesia.com, Jumat (25/10/2024).

Agus menambahkan, prioritas utama pemerintah adalah menyelamatkan karyawan agar tetap memiliki penghidupan.

Skema Penyelamatan yang Mungkin

Seperti apa skema penyelamatannya? Kita belum tahu persis apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. 

Mungkin saja menggunakan skema bailout, atau mengucurkan dana talangan, dengan konsekuensi saham perusahaan Sritex dan pengelolaannya diambil alih oleh negara melalui perusahaan BUMN, atau pilihan skema penyelamatan lain yang sifatnya win-win solution untuk semua pihak.

Namun apa pun skemanya, pemerintah harus melakukan langkah-langkah serius untuk memitigasi kondisi di Sritex ini.

Sritex, meskipun bukan lembaga keuangan seperti yang digambarkan dalam film "Too Big to Fail", namun memiliki skala operasi yang sangat besar dan peran cukup signifikan dalam industri tekstil Indonesia.

Perusahaan yang berdiri tahun 1966 oleh HM Lukminto tersebut mempekerjakan puluhan ribuan karyawan, memiliki jaringan pemasok yang luas, dan berkontribusi besar terhadap perekonomian lokal di sekitar lokasi operasionalnya.

Kejatuhan Sritex tidak hanya berdampak pada perusahaan itu sendiri, tetapi juga pada seluruh rantai pasok industri tekstil, termasuk petani kapas, pengrajin benang, dan penjahit. 

Selain itu, kebangkrutan Sritex juga dapat mempengaruhi penerimaan negara dari sektor pajak dan ekspor.

Oleh karena itu, dalam konteks industri tekstil dan perekonomian Indonesia, SSritex dapat dianggap"Too Big To Fail"karena dampak kebangkrutannya yang luas dan sistemik.

Kejatuhannya dapat menimbulkan efek domino yang merugikan dan menyulitkan perekonomian nasional. Oleh karena itu, penyelamatan Sritex bukan hanya tentang menyelamatkan perusahaan, tetapi juga tentang menyelamatkan perekonomian Indonesia dan hajat hidup orang banyak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun