Musim durian atau musim mangga memang ditunggu-tunggu, tetapi musim kenaikan tarif tentu tidak diharapkan. Namun, sepertinya kita harus bersiap menghadapi gelombang kenaikan berbagai tarif.Â
Dimulai dengan kenaikan tarif pembuatan paspor baru yang akan berlaku per 1 Desember 2024, seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan HAM.
Kenaikan tarif pembuatan paspor ini cukup signifikan, hampir dua kali lipat dari tarif sebelumnya. Biaya pembuatan paspor baru biasa (non-elektronik) 48 halaman naik dari Rp350 ribu menjadi Rp650 ribu, dengan masa berlaku 10 tahun. Masyarakat masih bisa membayar dengan tarif lama, tetapi masa berlakunya hanya 5 tahun.Â
Setali tiga uang, dengan skema serupa  biaya pembuatan paspor elektronik 48 halaman naik dari Rp650 ribu menjadi Rp950 ribu.
Kenaikan PPN dan Cukai
Selain paspor, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga hampir pasti akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa alasan kenaikan PPN ini adalah untuk menambah penerimaan negara agar bisa mengurangi utang dan menyesuaikan dengan standar internasional yang rata-rata tarif PPN-nya sebesar 15 persen. Dalam teori kebijakan fiskal, pemerintah  memang  memiliki instrumen untuk mempengaruhi perekonomian, salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak seperti PPN.
Pada tahun yang sama, pemerintah kemungkinan besar akan mulai memberlakukan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Besaran tarifnya belum pasti, tetapi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengusulkan tarif cukai sebesar 2,5 persen untuk tahun 2025, yang kemudian akan ditingkatkan bertahap hingga 20 persen.
Subsidi Tepat Sasaran dan Dampaknya
Wacana subsidi tepat sasaran di sektor energi yang sudah menjadi arahan Presiden baru, Prabowo Subianto, juga perlu diperhatikan. Jika dilaksanakan, kebijakan ini pasti akan menaikkan harga energi secara keseluruhan, mulai dari bahan bakar minyak (BBM), gas, hingga listrik.
Pemerintah seperti disampaikan Prabowo dalam beberapa kesempatan, akan mengalihkan subsidi energi menjadi subsidi langsung berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat yang dianggap layak.Â
Artinya, ketika subsidi terhadap energi dicabut atau dikurangi, harga yang harus dibayar oleh masyarakat sesuai atau semakin mendekati harga keekonomiannya. Â
Dalam teori subsidi, memang ada perdebatan mengenai efektivitas subsidi. Di satu sisi, subsidi dapat membantu masyarakat miskin, namun di sisi lain subsidi juga dapat menimbulkan inefisiensi.