Dalam konteks energi, harga minyak, gas, atau listrik akan bergantung pada harga minyak dan gas dunia serta komoditas mineral yang menjadi sumber pembangkit listrik. Sehingga harga energi berpotensi fluktuatif, dengan kecenderungan harganya semakin mahal.
Intinya, harga energi secara umum akan naik jika subsidinya dialihkan
Implikasi Ekonomi dan Tantangan
Dari perspektif ekonomi, pencabutan subsidi energi memang ideal karena akan membuka ruang fiskal yang lebih luas untuk kebutuhan pembangunan.Â
Menurut Buku II Nota Keuangan tahun 2025, subsidi energi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2024 mencapai Rp192,75 triliun, sedangkan untuk tahun 2025 naik menjadi Rp204,5 triliun.
Namun, mengubah pola subsidi ini secara praktik tidak mudah. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, misalnya validitas data masyarakat penerima BLT, situasi sosial dan politik, serta mitigasi risiko akibat kenaikan harga energi yang pasti akan menyebabkan inflasi. Â Kenaikan harga energi memang merupakan salah satu faktor penyebab inflasi, sesuai dengan teori tentang inflasi.
Rangkaian kebijakan kenaikan tarif dan pencabutan subsidi ini memiliki tujuan yang baik, Â yaitu meningkatkan penerimaan negara, mendorong efisiensi, dan mencapai target pembangunan. Namun, Â pemerintah perlu memperhatikan dengan cermat dampak dari kebijakan tersebut terhadap perekonomian dan masyarakat.
Kenaikan tarif dan harga yang terlalu tinggi dan serentak dapat menimbulkan tekanan inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan mitigasi risiko dan memastikan bahwa kebijakan tersebut dilaksanakan secara hati-hati dan berkelanjutan agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H