Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Kenaikan Tarif Bertubi-tubi, Rakyat Jadi Korban?

25 Oktober 2024   13:39 Diperbarui: 25 Oktober 2024   13:43 132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Musim durian atau musim mangga memang ditunggu-tunggu, tetapi musim kenaikan tarif tentu tidak diharapkan. Namun, sepertinya kita harus bersiap menghadapi gelombang kenaikan berbagai tarif. 

Dimulai dengan kenaikan tarif pembuatan paspor baru yang akan berlaku per 1 Desember 2024, seperti yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2024 tentang Jenis dan Tarif Atas Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Hukum dan HAM.

Kenaikan tarif pembuatan paspor ini cukup signifikan, hampir dua kali lipat dari tarif sebelumnya. Biaya pembuatan paspor baru biasa (non-elektronik) 48 halaman naik dari Rp350 ribu menjadi Rp650 ribu, dengan masa berlaku 10 tahun. Masyarakat masih bisa membayar dengan tarif lama, tetapi masa berlakunya hanya 5 tahun. 

Setali tiga uang, dengan skema serupa  biaya pembuatan paspor elektronik 48 halaman naik dari Rp650 ribu menjadi Rp950 ribu.

Kenaikan PPN dan Cukai

Selain paspor, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) juga hampir pasti akan naik dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025. Kenaikan PPN ini merupakan amanat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa alasan kenaikan PPN ini adalah untuk menambah penerimaan negara agar bisa mengurangi utang dan menyesuaikan dengan standar internasional yang rata-rata tarif PPN-nya sebesar 15 persen. Dalam teori kebijakan fiskal, pemerintah  memang  memiliki instrumen untuk mempengaruhi perekonomian, salah satunya adalah dengan menaikkan tarif pajak seperti PPN.

Pada tahun yang sama, pemerintah kemungkinan besar akan mulai memberlakukan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Besaran tarifnya belum pasti, tetapi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan mengusulkan tarif cukai sebesar 2,5 persen untuk tahun 2025, yang kemudian akan ditingkatkan bertahap hingga 20 persen.

Subsidi Tepat Sasaran dan Dampaknya

Wacana subsidi tepat sasaran di sektor energi yang sudah menjadi arahan Presiden baru, Prabowo Subianto, juga perlu diperhatikan. Jika dilaksanakan, kebijakan ini pasti akan menaikkan harga energi secara keseluruhan, mulai dari bahan bakar minyak (BBM), gas, hingga listrik.

Pemerintah seperti disampaikan Prabowo dalam beberapa kesempatan, akan mengalihkan subsidi energi menjadi subsidi langsung berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat yang dianggap layak. 

Artinya, ketika subsidi terhadap energi dicabut atau dikurangi, harga yang harus dibayar oleh masyarakat sesuai atau semakin mendekati harga keekonomiannya.  

Dalam teori subsidi, memang ada perdebatan mengenai efektivitas subsidi. Di satu sisi, subsidi dapat membantu masyarakat miskin, namun di sisi lain subsidi juga dapat menimbulkan inefisiensi.

Dalam konteks energi, harga minyak, gas, atau listrik akan bergantung pada harga minyak dan gas dunia serta komoditas mineral yang menjadi sumber pembangkit listrik. Sehingga harga energi berpotensi fluktuatif, dengan kecenderungan harganya semakin mahal.

Intinya, harga energi secara umum akan naik jika subsidinya dialihkan

Implikasi Ekonomi dan Tantangan

Dari perspektif ekonomi, pencabutan subsidi energi memang ideal karena akan membuka ruang fiskal yang lebih luas untuk kebutuhan pembangunan. 

Menurut Buku II Nota Keuangan tahun 2025, subsidi energi yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tahun 2024 mencapai Rp192,75 triliun, sedangkan untuk tahun 2025 naik menjadi Rp204,5 triliun.

Namun, mengubah pola subsidi ini secara praktik tidak mudah. Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi, misalnya validitas data masyarakat penerima BLT, situasi sosial dan politik, serta mitigasi risiko akibat kenaikan harga energi yang pasti akan menyebabkan inflasi.  Kenaikan harga energi memang merupakan salah satu faktor penyebab inflasi, sesuai dengan teori tentang inflasi.

Rangkaian kebijakan kenaikan tarif dan pencabutan subsidi ini memiliki tujuan yang baik,  yaitu meningkatkan penerimaan negara, mendorong efisiensi, dan mencapai target pembangunan. Namun,  pemerintah perlu memperhatikan dengan cermat dampak dari kebijakan tersebut terhadap perekonomian dan masyarakat.

Kenaikan tarif dan harga yang terlalu tinggi dan serentak dapat menimbulkan tekanan inflasi dan mengurangi daya beli masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu melakukan mitigasi risiko dan memastikan bahwa kebijakan tersebut dilaksanakan secara hati-hati dan berkelanjutan agar tidak mengganggu stabilitas ekonomi dan menimbulkan kesulitan bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun