Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

QRIS dan Sistem Pembayaran Digital Memang Keren, Tapi Jangan Lupakan Uang Tunai

17 Oktober 2024   14:42 Diperbarui: 18 Oktober 2024   06:54 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi QRIS.(Freepik)

Aroma kopi yang menggoda dan suasana cozy di coffee shop kekinian seringkali menarik perhatian kaum muda. Namun, di balik gaya hidup modern itu, ada sebuah fenomena yang cukup aneh: penolakan terhadap pembayaran dengan uang tunai.

Beberapa waktu lalu saya mengalami hal ini. Saya ditolak saat hendak membayar kopi dengan uang tunai di sebuah coffee shop. "Cashless only, pak," ujar sang kasir. Artinya, mereka hanya menerima pembayaran melalui QRIS, atau kanal pembayaran non-tunai lainnya, seperti kartu debit atau kartu kredit.

Kejadian ini membuat saya bertanya-tanya, apakah uang tunai sudah tidak berlaku lagi di Indonesia? Padahal, menurut Pasal 22 Undang-Undang nomor 7 tahun 2011 tentang Mata Uang,  jelas disebutkan bahwa setiap orang atau institusi dilarang menolak untuk menerima rupiah sebagai pembayaran yang sah di wilayah NKRI.

Dalam pandangan saya, kondisi ini bisa terjadi lantaran dorongan digitalisasi sistem pembayaran disikapi secara berlebihan oleh para pelaku usaha. Mereka terbuai  berbagai keunggulan dari sistem pembayaran digital yang belakangan memang menunjukkan peningkatan penggunaan yang signifikan.

Menurut data Bank Indonesia (BI),  pengguna QRIS saja  (di luar kartu debit dan kartu kredit) per September 2024 mencapai 53,3 juta akun, dengan volume mencapai 4,08 miliar transaksi. Dari volume transaksi total sebesar itu, 35,9 persennya merupakan transaksi yang dilakukan oleh pedagang eceran di sektor makanan dan minuman.

Salah satu alasan utama tingginya penggunaan sistem pembayaran digital adalah efisiensi. Merchant tak perlu lagi repot menghitung uang tunai, menyortir pecahan, atau khawatir kekurangan uang kembalian. Semua tercatat otomatis dan tersimpan rapi di sistem, memudahkan pencatatan keuangan dan rekonsiliasi di akhir hari. Waktu yang dihemat bisa dialokasikan untuk melayani lebih banyak pelanggan atau fokus pada pengembangan usaha.

Selain itu, sistem pembayaran digital juga mengurangi risiko kehilangan dan pencurian. Uang tunai rentan terhadap human error, baik kesalahan penghitungan maupun kecurangan. Dengan sistem digital, semua transaksi tercatat dengan jelas, meminimalisir potensi manipulasi dan meningkatkan keamanan. Para pedagang pun bisa tidur lebih nyenyak, tak perlu khawatir uang hasil jerih payah raib di tangan yang salah.

Tak ketinggalan, sistem pembayaran digital juga membuka akses ke pasar yang lebih luas. Dengan adanya platform e-commerce dan media sosial, pedagang bisa menjangkau konsumen di seluruh Indonesia, bahkan mancanegara. Transaksi lintas batas pun menjadi lebih mudah dan cepat, tanpa harus repot menukar mata uang asing. Hal ini tentu saja berdampak positif pada peningkatan penjualan dan pertumbuhan bisnis.

Menyikapi kondisi ini, BI selaku regulator dan pengawas sistem pembayaran di Indonesia mengimbau kepada seluruh merchant untuk tetap menyediakan ruang untuk pembayaran tunai. Toh, baik digital maupun tunai, pada dasarnya adalah menggunakan rupiah.

"Sekali lagi saya tegaskan, karena berkali-kali ini pertanyaan yang sama. Tentunya kita mengharapkan semua merchant tetap menerima uang tunai," terang Doni P. Joewono, Deputi Gubernur BI, seperti dilansir BloombergTechnoz.com. Perbedaan keduanya hanya terletak pada cara dan kanal pembayarannya saja. Secara prinsipnya, kedua sistem transaksi tersebut tetap menggunakan mata uang rupiah.

Namun, di sisi lain,  banyak juga pelaku usaha, terutama dari kalangan UMKM dan usaha mikro, yang menolak menggunakan QRIS dan sistem pembayaran digital lainnya. Salah satu kendala utama adalah kurangnya pemahaman dan keterampilan dalam menggunakan teknologi. 

Bagi sebagian pedagang, terutama yang berusia lanjut atau kurang melek teknologi, mengoperasikan aplikasi pembayaran digital terasa rumit dan membingungkan. 

Mereka lebih nyaman dengan cara lama, menerima uang tunai, dan menghitung manual. Proses adaptasi terhadap teknologi baru membutuhkan waktu dan kesabaran, yang terkadang dirasa merepotkan bagi mereka.

Faktor lain yang menjadi pertimbangan utama para pelaku usaha dalam menggunakan QRIS atau sistem pembayaran digital lainnya adalah biaya dan proses menarik uangnya yang mereka anggap cukup ribet. 

Meskipun sebagian besar penyedia layanan QRIS tidak mengenakan biaya transaksi bagi pedagang, namun ada beberapa yang membebankan biaya administrasi atau persentase dari nilai transaksi. 

Bagi pedagang kecil dengan margin keuntungan yang tipis, biaya tambahan ini dirasa cukup membebani, apalagi saat ini daya beli masyarakat disebutkan sedang mengalami pelemahan.

Untuk menyikapi kondisi ini,  sering kali pelaku usaha membebani konsumen dengan biaya tertentu jika menggunakan QRIS atau sistem pembayaran digital lainnya.  

Nah, dengan alasan itulah, BI mulai 1 Desember 2024  akan menetapkan Merchant Discount Rate (MDR) 0 rupiah untuk transaksi hingga Rp500.000 khusus untuk pelaku usaha mikro.

"Kami melihat bahwa kanal pembayaran QRIS bisa menopang daya beli masyarakat khususnya kelas menengah bawah," kata Deputi Gubernur BI Filianingsih, seperti dilansir CNBCIndonesia.com. 

Sebagaimana diketahui, biaya layanan QRIS atau MDR adalah biaya layanan yang dibebankan kepada para pedagang yang menggunakan layanan QRIS. 

Sebelumnya, para merchant usaha mikro akan dikenakan biaya MDR sebesar 0,3 persen ketika melakukan transaksi lebih dari Rp100 ribu.

Di tengah arus digitalisasi yang deras,  terjadi tarik-menarik antara dua kubu: mereka yang terlena dengan kemudahan cashless payment dan mereka yang tetap setia dengan uang tunai.  

Coffee shop yang menolak uang tunai dan pedagang kecil yang enggan beralih ke QRIS atau sistem pembayaran digital lainnya, menjadi potret nyata dilema ini.  

Keduanya mencerminkan tantangan dalam menciptakan keseimbangan di era digital, di mana kemajuan teknologi harus berjalan beriringan dengan inklusi dan keadilan.  

Masyarakat ideal bukanlah masyarakat yang serba digital atau serba tunai, melainkan masyarakat yang memberikan kebebasan dan kemudahan bagi semua kalangan, terlepas dari preferensi dan kemampuan mereka dalam beradaptasi dengan teknologi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun