Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Subsidi Tepat Sasaran, Realita atau Mimpi?

27 September 2024   14:47 Diperbarui: 27 September 2024   17:04 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilakukan dengan benar saja, masih tetap ramai dikritik, apalagi andai diimbuhi praktik-praktik culas, bakal semakin gaduh urusan ini.

Secara teori, subsidi tepat sasaran yang belakangan kerap kita dengar itu, paling mungkin dilakukan jika mekanisme penyaluran berbentuk subsidi tertutup, artinya subsidi hanya diberikan kepada kelompok masyarakat tertentu yang memenuhi kriteria atau persyaratan yang telah ditetapkan.

Implementasinya, subsidi disalurkan secara langsung by name by address, kepada penerima manfaat atau melalui mekanisme tertentu seperti menggunakan kartu atau kupon. Contohnya, BLT, Program Keluarga Harapan (PKH), atau Kartu Indonesia Pintar (KIP).

Persoalannya kemudian, dalam penyaluran subsidi tertutup ini membutuhkan sumber data yang bersih, melalui mekanisme pendataan dan verifikasi yang akurat dan transparan. Dan jangan lupa, untuk mendapatkan data yang valid dan bersih itu membutuhkan biaya pengelolaan yang cukup besar.

Meskipun sebenarnya, secara teori inilah skema penyaluran subsidi yang ideal, apalagi bagi negara seperti Indonesia yang memiliki keterbatasan anggaran. Lebih tepat sasaran serta jauh lebih efisien dibandingkan dengan skema penyaluran subsidi secara terbuka.

Subsidi BBM dan LPG 3 Kg serta subsidi tarif KRL merupakan salah dua bentuk subsidi terbuka di mana yang disubsidi adalah barang atau jasanya. Sehingga, tak peduli siapa mereka, kaya atau miskin, layak atau tidak, mereka akan mendapatkan subsidi ketika mengonsumsi barang yang disubsidi tersebut.

Meskipun sangat mudah diimplementasikan karena tak memerlukan pendataan yang rumit, tetapi subsidi terbuka cenderung tidak tepat sasaran dan sangat membebani anggaran negara.

Sebagai gambaran, anggaran subsidi energi (BBM, LPG, dan listrik) dalam Rancangan APBN 2025 yang datanya saya kutip dari Kementerian Keuangan, mencapai Rp204,5 triliun dengan perincian Rp114 triliun untuk BBM dan LPG, Rp90,2 triliun untuk kebutuhan subsidi listrik.

Jumlah ini menunjukkan kenaikan dibandingkan alokasi anggaran subsidi energi yang diperkirakan hingga akhir tahun 2024 berada di kisaran Rp192,8 triliun. Belum lagi jika ditambah dengan subsidi terbuka lain, seperti misalnya public service obligation (PSO), insentif pajak untuk mobil listrik, dan yang lainnya.

Secara keseluruhan, negara rencananya akan mengalokasikan anggaran untuk perlindungan sosial, termasuk di antaranya subsidi energi, pada tahun 2025 berkisar Rp496,9 triliun-Rp513 triliun.Anggaran yang luar biasa besar, kalau dibiarkan tanpa pengelolaan yang tepat bakal terus membengkak, sementara sumber daya yang negara miliki terbatas. 

Oleh sebab itu, dibutuhkan skala prioritas, mana yang harus disubsidi mana yang tidak. Dalam konteks ini, prioritas subsidi harus diberikan kepada kelompok miskin dan menengah bawah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun