Masa penawaran Sukuk Negara ritel seri SR021T3 dengan tenor 3 tahun, berimbal hasil 6,35 persen per tahun dan SR021T5 bertenor 5 tahun, Â dengan imbal hasil 6,45 persen per tahun telah resmi ditutup pada Rabu, 18 September 2024 pukul 10.00 WIB, setelah dibuka pada 23 Agustus 2024.
Berdasarkan catatan Bareksa.com, salah satu mitra distribusi, nilai pemesanan nasional beberapa saat menjelang penutupan mencapai Rp24,2 triliun. Angka ini menunjukkan tingginya minat masyarakat untuk berinvestasi pada instrumen keuangan syariah yang diterbitkan oleh negara.
Dalam pandangan saya, tingginya minat investasi ini mengindikasikan dua hal. Pertama, SR021 dianggap sebagai instrumen investasi yang menarik, aman, sesuai syariah, dan menawarkan imbal hasil yang menggiurkan. Kedua, kondisi ekonomi Indonesia, khususnya kelas menengah, mungkin tidak seburuk yang diberitakan.
Berita mengenai stagnasi atau bahkan degradasi ekonomi kelas menengah, yang tercermin dari daya beli yang melemah, mungkin tidak sepenuhnya akurat. Bisa jadi, terjadi pergeseran perilaku konsumsi di mana masyarakat menjadi lebih bijak dan mengalihkan dana mereka ke bentuk investasi.
Kelas Menengah dan SBN Ritel
Pertanyaannya, apakah kelas menengah merupakan mayoritas investor Surat Berharga Negara (SBN) atau Sukuk ritel?Â
Jika mengacu pada profil investor SBN ritel sebelumnya, sebagian besar investor memang berasal dari kelompok berpendapatan menengah, baik dari lapisan bawah maupun atas.
Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) menunjukkan bahwa hingga Semester I 2024, total investor SBN ritel mencapai 268.745 orang, dengan 28,32% di antaranya merupakan investor baru. Total dana yang berhasil dihimpun dari empat penerbitan SBN ritel pada tahun 2024 mencapai Rp84,34 triliun.
Dari total investor tersebut, 52% atau 141.917 investor adalah generasi milenial. Jika dilihat dari jenis pekerjaan, pegawai swasta mendominasi dengan 100.877 investor atau 37,5% dari total. Selain itu, investor SBN ritel juga berasal dari kalangan pegawai negeri, ibu rumah tangga, bahkan pelajar.
Direktur Surat Utang Negara DJPPR Kemenkeu, Deni Ridwan, menjelaskan saat peluncuran SBR013 , Senin 10 Juni 2024 beberapa waktu lalu, bahwa SBN ritel memiliki makna strategis, tidak hanya sebagai sumber pembiayaan pembangunan nasional tetapi juga sebagai upaya untuk memperluas basis investor dan memperdalam pasar keuangan.Â
Ia menambahkan, SBN ritel didesain mirip deposito, menawarkan keamanan, pendapatan tambahan reguler, dan kemudahan berinvestasi. Bedanya, imbal hasil SBN ritel lebih tinggi dan pajaknya lebih rendah.
Dengan demikian, dapat diasumsikan bahwa segmen pasar SBN ritel adalah mereka yang memiliki kemampuan finansial untuk berinvestasi, bukan mereka yang berada di bawah garis kemiskinan.Â
Asumsi bahwa SBN ritel merupakan sarana investasi bagi kelas menengah pun bisa dikatakan valid.
Sebelum membahas lebih lanjut hubungan antara minat investasi dan isu kelas menengah, penting untuk memahami kriteria kelas menengah dan aspiring middle class di Indonesia. Berbagai lembaga memiliki definisi yang berbeda.
Namun jika mengacu pada kriteria Bank Dunia kelas menengah adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per hari antara USD 7,5 - 38 (sekitar Rp 1,2 juta - Rp 6 juta per bulan per kapita berdasarkan laporan Bank Dunia tahun 2020).Â
Kelompok ini dianggap memiliki keamanan ekonomi yang cukup, mampu memenuhi kebutuhan dasar, dan memiliki akses ke pendidikan dan layanan kesehatan yang layak.
Sedangkan, Aspiring Middle Class (AMC), adalah mereka yang memiliki pengeluaran per kapita per hari antara USD 3,3 - 7,5 (sekitar Rp 532 ribu - Rp 1,2 juta per bulan per kapita).Â
Dengan demikian, tingginya minat masyarakat untuk berinvestasi di SR021 ini, dapat menjadi salah satu indikator bahwa kelas menengah Indonesia tidak sepenuhnya lesu.Â
Ada beberapa alasan yang mendasari asumsi tersebut. Pertama, Investasi di SBN ritel membutuhkan modal, hal ini menunjukkan bahwa ada sebagian kelas menengah yang memiliki kemampuan finansial untuk berinvestasi.
Selain itu, minat pada SBN ritel menunjukkan peningkatan literasi keuangan di kalangan masyarakat, terutama kelas menengah. Mereka semakin sadar akan pentingnya investasi dan mencari instrumen yang aman dan menguntungkan.
Terakhir, investasi di SBN ritel juga mencerminkan optimisme terhadap kondisi ekonomi negara. Investor percaya bahwa pemerintah akan mampu memenuhi kewajibannya dan memberikan imbal hasil yang wajar dan kompetitif.
Meskipun demikian, tingginya minat investasi di SR021 perlu diinterpretasikan dengan hati-hati. Hal ini tidak serta merta menggambarkan kondisi kelas menengah yang sepenuhnya baik, mengingat adanya faktor-faktor lain seperti kampanye pemasaran, minimnya alternatif investasi, atau sentimen pasar yang positif.Â
Selain itu, pembelian SR021 hanya mewakili sebagian kecil dari populasi kelas menengah, dan kondisi ekonomi kelas menengah sangatlah kompleks sehingga tidak bisa dinilai hanya dari satu indikator saja.
Dibutuhkan analisis yang lebih mendalam dan komprehensif untuk memahami kondisi sebenarnya dari kelas menengah.
But anyway, tingginya minat pada SR021 bukan hanya sekadar angka penjualan, melainkan cerminan dari optimisme dan ketahanan kelas menengah Indonesia.Â
Hal ini menjadi sinyal positif bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan, menunjukkan adanya potensi pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif.
https://www.djppr.kemenkeu.go.id/sbnritel
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H