Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Di Tengah Dehidrasi Likuiditas, SR021 Bisa Menjadi Oase Investasi yang Menyegarkan

15 Agustus 2024   09:59 Diperbarui: 15 Agustus 2024   10:12 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tengah isu dehidrasi likuiditas di pasar keuangan domestik, Pemerintah via Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementeria Keuangan (DJPPR-Kemenkeu) rencananya akan kembali membuka penawaran Sukuk Ritel seri SR021 mulai 23 Agustus 2024 sampai dengan 18 September 2024.

SR021 merupakan Surat Berharga Negara (SBN) ritel kelima yang ditawarkan pemerintah dari total tujuh seri yang direncanakan akan diterbitkan tahun ini. 

Analis pasar keuangan memperkirakan bahwa minat masyarakat terhadap instrumen investasi berbasis syariah ini akan tetap tinggi, meskipun likuiditas pasar sedang ketat dan situasi ekonomi global belum stabil.

Data historis menunjukkan bahwa penerbitan SBN ritel sebelumnya selalu mendapat sambutan positif dari masyarakat.

Berdasarkan data DJPPR-Kemenkeu, Obligasi Ritel Indonesia seri ORI024 yang menjadi pembuka rangkaian penerbitan SBN ritel tahun ini, berhasil menarik 13.535 investor dengan total investasi yang dihasilkan sebesar Rp23,92 triliun.

Menyusul, Sukuk Ritel seri SR020 yang diterbitkan 1 Maret 2024 hingga penawarannya ditutup pada 27 Maret 2024, berhasil memobilisasi dana masyarakat sebesar Rp21,35 triliun, dengan jumlah investor sebanyak 63.009 orang.

Kemudian, Sukuk Tabungan seri ST012 yang penawarannya mulai dibuka pada tanggal 26 April 2024 sampai dengan 29 Mei 2024, realisasi pemesanan dari  76.371 investor, mencapai Rp19,65 triliun.

Terakhir, Savings Bond Ritel seri SBR013 yang ditawarkan mulai 10 Juni 2024 dan berakhir pada 4 Juli 2024, diminati oleh 60.508 investor dengan nilai realisasi pemesanan sebesar Rp19,45 triliun.

Jadi secara keseluruhan, hingga penerbitan keempat, realisasi pemesanan SBN ritel pada tahun 2024, baik yang berbasis syariah maupun konvensional mencapai Rp84,37 triliun, dengan jumlah total investor sebanyak 213.432 orang.

Tahun ini, Pemerintah menargetkan realisasi pemesanan SBN ritel di kisaran Rp140-Rp160 triliun. Sebagai perbandingan, realisasi pemesanan SBN ritel sepanjang tahun 2023 lalu, sebesar Rp147,4 triliun.

Keketatan Likuiditas, SRBI, dan Prospek SR021

Dengan deretan fakta tadi, sepertinya penawaran SBN ritel tak terganggu isu keketatan likuiditas yang konon katanya didorong oleh agresivitas penerbitan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) oleh Bank Sentral Indonesia (BI), yang menawarkan imbal hasil sangat tinggi.

Bunga tinggi SRBI ditenggarai masih menjadi daya tarik utama para investor masuk ke instrumen yang dihadirkan BI untuk menarik dana asing demi stabilitas Rupiah ini.

Perbankan dan pelaku jasa keuangan non-bank semakin banyak menggeser portofolio likuiditasnya ke SRBI dari tadinya di SBN. Menurut data terbaru yang dilaporkan BI, selama Juli 2024, kepemilikan SBN oleh perbankan terus mengalami penurunan. Pada akhir Juli 2024, portofolio bank di SBN tersisa Rp1.119,94 triliun, padahal pada akhir Agustus 2023 masih berada di angka Rp1.714,49 triliun.

Bloomberg Technoz
Bloomberg Technoz
Artinya setelah penerbitan SRBI, kepemilikan SBN oleh pihak perbankan tergerus sebesar Rp523,55 triliun. Tidak berlebihan, jika kemudian ada dugaan, bahwa dana bank di SBN berpindah ke SRBI mengingat sekarang ini posisi dana bank yang dibenamkan di instrumen moneter telah menembus angka Rp537,66 triliun.

Tak hanya SBN, produk keuangan lain pun seperti saham dan reksadana mulai letih bertarung dengan SRBI yang memberikan bunga yang jauh lebih tinggi dengan tingkat keamanan yang nyaris sempurna. 

Meskipun dalam tiga lelang terakhir Bank Indonesia terus memangkas bunganya, per 31 Juli 2024 bunga SRBI bertenor 12 bulan menjadi sebesar 7,23 persen, turun cukup banyak dibanding awal Juli yang menyentuh level tertinggi di 7,53 persen.

Tak heran jika kemudian sejumlah pengamat dan praktisi keuangan berpendapat bahwa SRBI dengan segala keunggulannya dibandingkan instrumen keuangan lain memicu crowding out effect dan keketatan, sehingga membuat likuiditas pasar keuangan domestik dehidrasi.

Crowding out effect adalah istilah yang menggambarkan terserapnya dana yang beredar di pasar keuangan ke salah satu instrumen keuangan yang diterbitkan oleh Pemerintah atau otoritas keuangan lainnya, sehingga likuiditas sulit digapai oleh pelaku pasar keuangan.

Walaupun kemudian, isu ini dibantah oleh Bank Indonesia, seperti diungkapkan oleh Gubernur BI, Perry Warjiyo, 

"Apakah terjadi crowding out? jawabannya tidak. Dari sisi SRBI dan SBN, baik dari suku bunga dan juga lelangnya SBN untuk pembiayaan fiskal," ujarnya, seperti dilansir CNBCIndonesia.com. 

Perry juga menekankan, keberadaan SRBI dengan yield tinggi itu juga tak menyebabkan pengetatan likuiditas. Sebab, likuiditas perbankan masih tinggi, tergambar dari data rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tercatat tinggi sebesar 25,36%.

Terlepas dari itu, satu hal yang akan berpengaruh terhadap penerbitan SBN ritel adalah Surat Edaran BI bernomor 26/3/DGS-DPMA/Srt/B yang diterbitkan 24 Juli 2024 lalu yang menghimbau bank agar tak melakukan mobilisasi dana pihak ketiga (DPK) dan tidak memasarkan SRBI secara langsung kepada nasabah ritel.

Apabila SRBI bisa dipasarkan secara eksplisit kepada nasabah ritel, pertarungan keras bakal terjadi dengan SBN ritel, karena meskipun SRBI tingkat risikonya pun nyaris nol seperti halnya SBN ritel, tapi bunga yang ditawarkannya relatif lebih tinggi.

Untungnya, komunikasi antara penguasa fiskal dan penguasa moneter di negeri ini, berjalan baik. sehingga bauran kebijakan antar kedua institusi tersebut saling melengkapi tak saling menghabisi.

Selain itu, sedari awal, memang SBN ritel itu memiliki ceruk pasar dan peruntukannya pun berbeda dengan SRBI, sehingga SBN ritel performanya bisa terus moncer.

Oleh sebab itu meskipun isu keketatan likuiditas masih bergema di market, sepertinya tak akan berpengaruh terhadap animo masyarakat untuk menanamkan uangnya di SBN ritel.

Apalagi SBN ritel seri SR021 memiliki karakteristik bisa diperdagangkan kembali atau tradeable, yang memungkinkan investor bisa menjualnya kembali di pasar sekunder.

Selain itu, karena dijamin Negara melalui dua undang-undang sekaligus, sehingga sudah dapat dipastikan pengembalian nilai pokok investasinya maupun pencairan keuntungannya akan dilakukan tepat waktu.

Maka dari itu, SR021 bisa menjadi instrumen safe haven di tengah situasi perekonomian dunia yang masih "tidak baik-baik saja."

Di luar itu, lantaran SR021 berprinsip syariah, pengelolaannya pun benar-benar complied dengan aturan syariah yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).

Dengan berbagai keunggulan dan dukungan dari pemerintah serta otoritas terkait, SR021 diyakini akan tetap diminati oleh masyarakat, bahkan di tengah tantangan likuiditas yang ada. Kehadiran SR021 diharapkan dapat menjadi alternatif investasi yang menarik dan aman, sekaligus mendukung upaya pemerintah dalam mencapai target pembiayaan, demi kesejahteraan seluruh Rakyat Indonesia

https://www.djppr.kemenkeu.go.id/sbnritel

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun