Menyaksikan geliat permainan kekuasaan di Negeri ini, Â yang belakangan kian mencolok, hukum dan aturan ditekuk begitu rupa demi kepentingan si pemegang kuasa.
Uang negara yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, malah dikangkangi seolah "uang rakyat" itu milik nenek moyangnya, wong bayar biduan saja menggunakan anggaran negara kok.
Padahal di awal para pemegang kuasa tersebut berkuasa, tak terbayang mereka akan bertindak sampai sejauh itu.
Dalam jurnalnya lewat hasil penelitian selama hampir 20 tahun, Profesor Dachner Keltner dari Departemen Psikologi Politik Universitas of California Berkeley Amerika Serikat menemukan fakta bagaimana seorang pemimpin yang awalnya terpilih karena karakter-karakter positifnya seperti berintegritas, berempati pada yang lemah, gemar berkolaborasi, disamping kapabilitas kepemimpinannya memang sudah teruji, dapat berubah ketika kekuasaanya semakin lama semakin kuat.
Power yang sebelumnya digunakan untuk memengaruhi orang lain agar mengikuti visinya, berubah menjadi power untuk membuatnya mendapatkan privilege yang menurutnya "hak" dirinya sebagai pemimpin.
Hal ini, membuktikan bahwa kekuasaan pada dasarnya bisa merubah secara drastis perilaku seseorang, apalagi ketika kekuasaan itu digenggam lama tanpa ada pihak yang beroposisi.
Alhasil siapapun yang berkuasa, jika tak diikuti oleh kontrol internal dan eksternal  yang mumpuni, maka kekuasaan cenderung korup, seperti diungkapkan ahli sejarah dan politik asal Inggris Lord Acton, "Power tend to corrupt, and absolute power, corrupt absolutly." Kekuasaan itu cenderung korup, kekuasaan absolut, pasti korupnya.
Korup disini bukan terbatas pada materi, tapi lebih luas lagi termasuk mengakali berbagai aturan dan menciptakan priviliege bagi dirinya dan orang-orang dekatnya.
Oleh sebab itu, siapapun yang berkuasa jika dilakukan tanpa kontrol dan digenggam terlalu lama, kekuasaan itu cenderung melahirkan kediktatoran.
Sisi buruknya kekuasaan ini digambarkan dengan sangat bernas, cerdas sekaligus sedap untuk dinikmati lantaran penuh metafora oleh George Orwell dalam novel alegoris berjudul "Animal Farm" yang diterbitkan pada tahun 1945.
George Orwell dalam karya klasiknya tersebut, menggunakan metafora secara brilian untuk menyampaikan kritik tajam terhadap kekuasaan yang cenderung totaliter, dan praktiknya penuh tipu daya seperti korupsi kekuasaan dan manipulasi sosial.