Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Kunang-Kunang Semakin Sulit Ditemui, ke Mana Mereka Pergi?

20 Februari 2024   13:38 Diperbarui: 21 Februari 2024   00:51 1431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bertahun-tahun lalu, saat mereka yang kini sudah berusia setengah baya, tengah menikmati masa anak-anak atau remajanya, apalagi bila menjalani kehidupannya di wilayah pedesaan, kelap-kelip kunang-kunang kerap menjadi bagian malam-malamnya.

Saya ingat betul di masa itu, kami anak-anak yang tunbuh besar di pedesaan senang sekali memerhatikan bahkan menangkapi kunang-kunang, lalu memasukannya ke dalam kantong plastik, untuk kemudian dibawa ke rumah, tak peduli kata orang tua kami, bahwa kunang-kunang adalah kuku orang mati.

Sayangnya saat ini, masa dan rasa menikmati keberadaan kelap-kelip serangga yang mengeluarkan cahaya dari dalam tubuhnya, bukan lagi hal yang mudah didapati.

Serangga bernama kunang-kunang yang dalam bahasa Inggris disebut Fireflies, Lightning Bug atau Glowworms tersebut semakin sulit ditemui dan menurut jaringan informasi fireflyers internasional, ini terjadi hampir diseluruh wilayah dunia, bukan hanya Indonesia.

Menurut hasil penelitian 350 anggota mereka yang terdiri dari organisasi pakar dan spesialis serangga kunang-kunang yang tersebar diseluruh dunia, eksistensi kunang-kunang kini memang sedang menuju kepunahan.

Mengutip jurnal BioScience, ancaman kepunahan si Api Terbang utamanya karena habitatnya "dirusak" aktivitas manusia, penggunaan pestisida, dan cahaya buatan.

Kunang-kunang menderita karena habitat yang menjadi tempat mereka menyelesaikan siklus hidupnya telah menghilang, ini lah yang diidentifikasi sebagai penyebab paling serius dan utama penurunan populasi kunang-kunang di seluruh benua.

Berubahnya hutan belantara menjadi zona perkotaan, kawasan industri, pertanian dan perkebunan menjadi masalah khusus bagi kunang-kunang yang merupakan spesialis habitat.

Hutan bakau yang juga menjadi habitat kunang-kunang, perlahan tapi pasti, keberadaannya semakin jarang.

Selain hilangnya habitat secara langsung, fragmentasi dan perubahan ekosistem alam juga memberikan tekanan berat pada populasi kunang-kunang.

Seperti diketahui, kunang-kunang sangat mengandalkan lingkungan yang hangat dan lembab di dekat genangan air untuk siklus hidupnya.

Dengan demikian, pemompaan air tanah yang masif dapat merusak populasi mereka karena permukaan air kian rendah, bahkan meningkatkan kekeringan dihabitatnya.

Tak hanya rusaknya ekosistem habitatnya, polusi cahaya akibat bermunculannya perumahan dan bangunan lainnya menjadi ancama serius lain bagi populasi kunang-kunang.

Kunang-kunang sangat terganggu dengan adanya sinar dari cahaya buatan yang berasal dari lampu-lampu dan cahaya kota, sebab bagi kunang-kunang cahaya adalah alat komunikasi yang digunakan antar sesamanya.

Malam hari yang biasanya gelap gulita, sehingga mereka bisa berkomunikasi, menjadi sulit dilakukan.

Cahaya bagi kunang-kunang juga dipergunakan sebagai sinyal untuk menarik lawan jenisnya sebelum kawin. 

Setiap kunang-kunang memiliki karakteristik cahaya tersendiri yang berbeda-beda, baik dari segi intensitas maupun dia menyala.

Jadi, warna cahaya, terang dan redupnya serta durasi cahaya yang dipancarkan dari dalam tubuhnya, menjadi semacam penanda dari individu setiap kunang-kunang, semacam identitas diri.

Di luar itu, faktor lain yang sangat berperan dalam kepunahan kunang-kunang adalah penggunaan pestisida untuk membersihkan rumput dan hama.

Pestisida sebenarnya tak hanya menjadi masalah bagi kunang-kunang, tetapi juga memengaruhi secara signifikan semua tahapan kehidupan serangga lainnya, yang pada akhirnya dapat merusak stabilitas ekosistem alam disekitarnya.

Pestisida yang menyebabkan polusi air dan tanah, menjadikan telur kunang-kunang mati, dalam jangka waktu yang cukup lama, karena menempel pada media dimana biasanya kunang-kunang berkembang biak .

Alhasil daya tetas telur kunang-kunang menjadi turun tajam. Jika pun menetas larvanya akan langsung mati bahkan yang sudah dewasa sekalipun, sehingga pada akhirnya menurunkan populasi kunang-kunang secara drastis.

Oleh sebab itu lah, kunang-kunang kini tengah menuju jalan kepunahan dan semakin sulit untuk kita dapati.

Saking sulitnya, bahkan untuk melihat kunang-kunang kini menjadi semacam pariwisata alam tersendiri.

Di luar negeri seperti di Jepang, Taiwan, Meksiko, hingga Thailand wisata untuk menikmati cahaya kunang-kunang menghasilkan cuan yang besar.

Mereka menciptakan sensasi dengan melihat kunang-kunang dalam jumlah yang besar dan kelap-kelip cahayanya bisa dinikmati langsung secara kasat mata.

Di Indonesia, seperti di Curug Panjang Higland Bogor, wisata kunang-kunang juga menjadi daya tarik spesial, wisatawan dapat menikmati indahnya cahaya kunang-kunang di kawasan ini mulai selepas Magrib hingga tengah malam

Ironis memang, sesuatu yang mestinya bisa dinikmati tanpa harus merogoh kocek seperti melihat cahaya kelap-kelip kunang-kunang, kini harus dilakukan dengan mendatangi tempat tertentu dan membayar.

Andai ekosistem kunang-kunang bisa terjaga dengan baik mungkin, mereka bisa berkembang biak secara alami, dan anak cucu kita dapat menikmati sensasinya seperti dulu kami menikmatinya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun