Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Harga Rokok Naik, Para "Ahli Hisap" Lebih Memilih Mengakalinya

3 Januari 2024   17:53 Diperbarui: 3 Januari 2024   18:03 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pemerintah pada tahun 2024 kembali menaikan tarif cukai rokok dan hasil olahan tembakau lainnya sebesar  rata-rata 10 persen, seperti halnya dilakukan pada tahun 2023.

Di mana, golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM) I dan II, naik 11,5-11,75 persen, Sigaret Putih Mesin (SPM) I dan II naik sekitar 11 persen, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT) rata-rata naik dikisaran 5 persen.

Aturan kenaikan cukai tersebut mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) nomor 192 /PMK.010/2021 Tahun 2021 Tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau Berupa Sigaret, Cerutu, Rokok Daun Atau Klobot, Dan Tembakau Iris. 

Kenaikan tarif cukai rokok, yang berimbas langsung menjadi tingginya harga jual rokok di tingkat konsumen, tadinya diharapkan Pemerintah dapat mengendalikan konsumsi rokok masyarakat Indonesia yang sudah dianggap mengkhawatirkan.

Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun yang merokok mencapai 28,6 persen pada tahun 2023 atau sekitar 78 juta jiwa. Dengan rata-rata pengeluaran per kapita untuk rokok dan olahan tembakau lainnya sebesar Rp.91.003, naik 6,3 persen dibandingkan tahun 2022 yang sebesar Rp.85.630.

Jauh lebih besar dari rata-rata pengeluaran penduduk Indonesia untuk membeli telur dan susu yang hanya Rp.33.310 saja.

Pengendalian konsumsi rokok ini, dalam praktiknya diharapkan akan berbentuk penghentian kebiasaan merokok, atau paling tidak mengurangi jumlah konsumsi rokok yang dihisapnya.

Sayangnya, ternyata tujuan ini tak sepenuhnya terjadi, para "ahli hisap" lebih memilih mengakalinya, bukan mengurangi apalagi menghentikan konsumsi rokok, perokok dengan lincahnya melakukan shifting dari jenis dan merk rokok berharga mahal, ke jenis dan merk rokok berharga lebih murah.

Fakta ini, tercermin dalam laporan yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati. Produksi rokok golongan I, yang dipasaran dikenal dengan merk Marboro, Sampoerna Evolution, Dunhill, anjlok hingga 14 persen secara year on year (YoY).

Namun, dalam saat bersamaan produksi rokok Golongan II dan III yang harga jualnya di tingkat konsumen lebih rendah, justru meningkat.

Produksi rokok golongan II naik sebesar 11,6 persen, yang naik signifikan adalah industri rokok kecil yang masuk dalam Golongan III, angka produksinya naik 28,2 persen.

Dari sini terlihat jelas pola, alih-alih berhenti atau mengurangi konsumsi rokok para ahli hisap ini lebih memilih mengakalinya.

Namun, apa mau dikata, begitulah kenyataannya. Rokok dan hasil olahan tembakau lainnya masih merupakan produk legal yang industri dan distribusinya di lindungi undang-undang, di mana pun di dunia ini.

Jadi untuk menghilangkan keberadaannya sama sekali tak akan mungkin terjadi. Terlalu tinggi cukainya pun,  tak akan memiliki dampak baik bagi perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Sebagaimana diketahui, cukai hasil tembakau atau CHT menjadi kontributor utama penerimaan kepabeanan dan cukai, di mana menyumbang Rp221,8 triliun terhadap total penerimaan di angka Rp286,2 triliun sepanjang 2023.

Belum lagi jika berbicara para pihak yang terlibat dalam rantai industri rokok, mulai dari petani tembakau, pelaku industri rokok hingga distibusinya yang jumlahnya di Indonesia mencapai lebih dari 5 juta jiwa.

Selain itu, semakin tinggi tarif cukai di kenakan, bakal semakin besar pula jumlah rokok-rokok ilegal tanpa cukai. Rokok itu di sebagian kawasan Indonesia sudah merupakan produk rumahan, jadi tak mudah untuk mengawasi peredarannya.

Oleh sebab itu lah, Pemerintah lebih memilih kata mengendalikan dengan cara men-cukai-i berdasarkan perhitungan keseimbangan antara faktor kesehatan dan faktor ekonomi, sambil berharap pada akhirnya para "ahli hisap" itu sadar bahwa rokok itu tidak baik untuk kesehatan dan berniat untuk menghentikan kebiasaannya tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun