Ikan Lohan Ikan Gabus. Direndam dulu baru direbus.
Supaya pembangunan maju terus, Pinjam Dulu Seratus.
Pantun di atas diucapkan Presiden Jokowi dalam acara "Kompas 100: CEO Forum" di Kawasan Ibukota Negara Nusantara (IKN) Kalimantan Timut beberapa waktu lalu.
"Seratus" dalam ungkapan viral yang dimaksud adalah seratus ribu rupiah alias Rp. 100.000, yang fisik uang kertasnya berwarna dominan merah dengan gambar utama foto Sukarno-Hatta, dua tokoh proklamator Kemerdekaan Indonesia.
Mengapa "Seratus" tidak "Lima Puluh" lantaran saat ungkapan tersebut ramai menjadi bahan perbincangan, nilai uang Rp.100.000 dianggap  tak terlalu besar, tapi nilainya masih cukup untuk membeli berbagai kebutuhan pokok harian.
Namun, nilai uang seratus tersebut dapat tergerus manakala harga barang yang menjadi kebutuhan pokok terus menunjukan kenaikan seperti yang terjadi belakangan.
Banyak orang, termasuk saya di dalamnya merasakan uang Rp.100.000 yang dulu cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup satu hari, kini tak berlaku lagi.
Saya yakin pengeluaran saya ya sama saja dengan sebelumnya, tidak ada yang bertambah. Tetapi, kenaikan hargalah yang menyebabkan saya harus merogoh kocek lebih dalam untuk kebutuhan harian.
Misalnya, harga rokok yang biasanya saya konsums, Â kisaran harganya Rp 38 ribu, kini menjadi Rp. 42 ribu. Gado-Gado yang biasanya bisa saya beli di belakang kantor seharga Rp 15 ribu berikut nasinya, kini Rp.18.ribu, pun demikian dengan nasi padang, biasanya makan dengan lauk rendang dipatok seharga Rp.21 ribu kini baru bisa dinikmati kalau kita mengeluarkan uang Rp.25 ribu.
Jujur saja, berbagai kenaikan harga ini membuat saya harus menyiasatinya, agar kantong tidak jebol, karena berbeda dengan pengeluaran, pendapatan tak bertambah. Salah satunya, mengubah konsumsi rokok ke merek yang lebih murah, dengan rasa yang tak jauh berbeda.
Kondisi yang saya rasakan ini ,ternyata linier dengan sejumlah indikator yang menunjukan harga barang-barang kebutuhan hidup mengalami kenaikan.
Menurut Sistem Pemantauan Pasar dan Kebutuhan Pokok Kementerian Perdagangan(SP2KP-Kemendag), harga sejumlah kebutuhan pangan memang sudah bersalin harga, beras misalnya naik sebesar 20 persen, bahkan harga cabe terbang tinggi hingga lebih dari 50 persen, kini harga cabe rawit merah naik menjadi Rp.125 ribu per kilogram padahal biasanya ada di kisaran Rp.50 ribuan saja. Sama halnya dengan bawang putih, cabe merah keriting, hingga terigu dan gula konsumsi.
Kenaikan berbagai harga kebutuhan harian itu, terpotret secara nyata oleh Badan Pusat Statistik(BPS), dalam laporan bulannya, BPS mencatat inflasi rata-rata di tingkat nasional pada bulan November 2023 mencapai 0,38 persen, dengan tingkat inflasi tahunan sebesar 2,86 persen.
Sebenarnya,mengutip keterangan Bank Indonesia, level inflasi 2,86 persen itu masuk dalam kategori terkendali, karena masih berada dalam kisaran yang dtargetkan Pemerintah yakni, Â 3 persen plus minus 1 persen untuk tahun 2023.
Namun, karena yang menjadi kelompok penyumbang terbesar inflasi itu adalah makanan, minuman, dan tembakau, yakni sebesar 1,23 persen, maka dampaknya menjadi sangat terasa oleh masyarakat.
Dan jangan lupa tren naiknya inflasi tahun ini terus menunjukan kenaikan, sesuatu yang harus diantisipasi betul oleh Pemerintah
Instrumen indikator lain, yang menunjukan kenaikan pengeluaran masyarakat adalah Mandiri Spending Index(MSI), pada awal tahun 2023, spendng index masyarakat Indonesa berada di kisaran 200, bahkan di sepanjang periode 2022 angkanya di bawah 150. Tapi lihat di bulan November 2023 indeks belanja masyarakat naik ke 269,2.
Oleh sebab itu tak heran jika kemudian masyarakat merasa nilai uang terhadap barang terus mengalami kemerosotan, karena faktanya kita harus mengeluar uang lebih banyak untuk mendapatkan barang dengan kuantitas dan kualitas yang sama, dan itu artinya naiknya inflasi memang terjadi.
Kendati demikian, naiknya harga satu atau dua komoditas tak bisa serta merta dinyatakan sebagai infasi, karena inflasi dapat terjadi manakala kenaikan harga yang bersifat umum dan komoditas yang harganya naik  itu meluas atau mengarah pada kenaikan sebagian besar komoditas dalam jangka yang agak panjang.
Mengutip publikasi Bank Indonesia, penyebab terjadinya inflasi ada dua kelompok besar, pertama karena tekanan dari sisi penawaran atau Cost Push Inflation, kondisi ini dapat berlangsung ketika tekanan kenaikan inflasi itu datangnya dari peningkatan biaya produksi.
Peningkatan biaya produksi tersebut dapat terjadi lantaran pengarung dari depresiasi nilai tukar Rupiah, sehingga harga impor naik dan otomotis menyeret ongkos produksi menjadi lebih tinggi.Â
Kemudian, dampak dari kenaikan inflasi global seperti yang saat ini sedang terjadi akibat situasi geopolitik dunia yang tidak kondusif, harga barang impor menjadi naik dan akhirnya meningkatkan ongkos produksi.
Negative Supply Stock atau suplainya berkurang menjadi penyebab lain naiknya ongkos produksi karena adanya gangguan distribusi barang dan jasa misalnya akibat dari bencana alam atau gangguan lainnya.
Kedua, dari sisi permintaan atau Demand Pull Inflation. Hal ini dapat terjadi disebabkan oleh tekanan dari sisi permintaan atau meningkatnya permintaan atau meningkatnya permintaan barang dan jasa relatif terhadap ketersedian.
Dalam konteks teori makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total atau Agregate demand lebih besar dari kapasitas perekonomian, hal tersebut dapat mendorong kenaikan harga.
Sederhananya, permintaan yang besar tanpa diiringi supplai yang cukup karena berbagai hal dapat menaikan harga sebuah produk.
Dan ketiga, ekspektasi inflasi yang merupakan faktor yang dipengaruhi oleh persepsi dan harapan masyarakat serta pelaku ekonomi terhadap tingkat inflasi di masa depan.
Agar inflasi terkendali, wajib hukumnya penyebab-penyebab tadi ditangani dengan baik dan benar lewat bauran kebijakan oleh tim ekonomi Pemerintah, dalam hal ini  Bank Indonesia sebagai pengampu di bidang moneter dan Kementerian Keuangan yang mengurus fiskal dengan dibantu kementerian teknis yang meluruskan lika liku di sektor industri dan perdagangan.
Harus diakui untuk penanganan inflasi, periode Jokowi ini merupakan yang paling baik sepanjang sejarah Indonesia, selama sembilan tahun menjabat sebagai Presiden, rata-rata inflasi dari tahun 2015-2022 hanya sebesar 3,11 persen, jauh lebih rendah dibanding historisnya di angka 8 persen.
Bahkan dalam situasi ekonomi dunia yang gonjang-ganjing sekalipun, di mana negara lain tingkat inflasinya meroket tak karuan termasuk negara-negara kekuatan ekonomi dunia seperti Amerika Serikat, Jepang, Jerman, dan Inggris, inflasi di Indonesia masih sangat terkendali.
Mungkin karena itulah, tingkat approval rating Jokowi masih tinggi hingga saat ini. Meskipun demikian, alangkah lebih baiknya jika pengendalian inflasi yang sudah baik tersebut bisa lebih dirasakan oleh seluruh masyarakat , sehingga tak seperti saat ini, uang seratus seperti kehilangan tenaganya.
Jangan sampai ke depannya, "pinjam dulu seratus" tak cukup lagi. Â Masa harus "pinjam dulu dua ratus" mana lah di kasih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H