Hal ini dapat terjadi karena Rupiah Digital menggunakan basis teknologi blockchain seperti yang digunakan pada cryptocurrency.
Bedanya kripto, diterbitkan oleh institusi private yang pencatatannya murni desentralisasi. Sedangkan Rupiah Digital relatif aman karena diterbitkan oleh institusi negara di bidang keuangan sehingga secara hukum sah dan aman dan pencatatan identitas pemegang Rupiah Digital pun jelas dan transparan.
Namun demikian, ujian bagi BI selaku penerbit Rupiah Digital agar bisa digunakan maayarakat umum bukan hanya disisi teknisnya saja, tetapi ada di masalah sosialiasasinya agar masyarakat terliterasi yang ujungnya mereka mau menggunakan Rupiah Digital.
Oke lah Rupiah Digital dan sistem pembayaran digital lainnya dapat meningkatkan inklusifitas keuangan masyarakat secara cepat dan masif, tapi tanpa upaya literasi keuangan yang tepat akan menimbulkan collateral damage yang cukup besar bagi masyarakat.
Keriuhan masalah pinjaman online dan  investasi tipsani (tipu sana sini) atau bodong bisa terjadi karena inklusi keuangan jauh lebih cepat perkembangannya dibandingkan paparan literasi keuangan.
Menurut hasil survei Otoritas Jasa Keuangan(OJK) tingkat inklusi keuangan masayarakat Indonesia pada tahun 2022 mencapai 85 persen, sedangkan tingkat literasi keuangannya hanya 49,5 persen.
Ada kesenjangan cukup lebar antar keduanya, sehingga tak heran jika banyak korban berjatuhan akibat tak paham produk keuangan yang ada di sektor industri jasa keuangan.
Apalagi Rupiah Digital, yang sepertinya lebih rumit sistemnya, oleh karena iru ada baiknya mulai dari saat ini, gerakan masif sosialisasi Rupiah Digital itu segera digencarkan, agar masyarakat bisa terliterasi dengan baik dan benar tentang Rupiah Digital tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H