Dan mungkin itu ujungnya ada di masalah etika, karena hingga saat ini tak ada satupun aturan bernegara yang menyatakan dengan jelas bahwa anak presiden tak boleh menjadi calon bupati/walikota, Gubernur, Â cawapres atau capres.
Kalau sudah berbicara etika, artinya sanksi bagi seseorang atau sebuah entitas pelanggarnya adalah sanksi sosial. Karena ini konteksnya tentang Pilpres, hukumannya ya jangan dipercayai yang dimanifestasikan dengan tidak memilihnya.
Memangnya ada paksaan bagi rakyat Indonesia untuk memilih paslon Prabowo-Gibran? Kan tidak ada! Silahkan saja bebas memilih paslon capres siapapun itu, sesuka hati masing-masing.
Tak perlu juga mendayu-dayu, merangkai kata yang indah seolah memilih pasangan capres Prabowo-Gibran itu, adalah sebuah dosa, dengan mengatasnamakan demokrasi, kepentingan bangsa dan negara.
Padahal dalam saat bersamaan mendukung paslon lain, dalam Pilpres 2024.
Jika memang rakyat memandang paslon Koalisi Indonesia Maju, Prabowo-Gibran itu tidak beretika, pengkhianat atau cap buruk apapun lagi lah, ya jangan dipilih, sesederhana itu.
Kalau tak ada yang memilih sehebat apapun dan anak siapapun dia ya akan gulung tikar.
Dengan demikian mereka tak akan mempunyai kesempatan untuk berkuasa. Bila perlu seluruh partai yang mendukungnya ya jangan ada yang dicoblos juga, 14 Februari 2024 nanti.
Namun, jika kemudian hasil Pilpres menyatakan paslon capres tersebut menjadi pemenang, sepanjang itu dihasilkan lewat pelaksanaan pemilu yang jurdil, ya harus legowo.
Para elite dalam.kontestasi elektabilitas secara natural pasti akan "membakar "rakyat calon pemilih dengan pilihan diksi agitatif dan propagandis.
Menjelekan pihak lain seraya menaikan nilai jagoannya. Tinggal kita sebagai pemilih memilahnya.