Generasi muda, Generasi milenial, Gen Z belakangan seperti menjadi kata sakti yang selalu didengungkan hampir setiap entitas di Negeri ini.
Silahkan saja, perhatikan setiap event dan kegiatan yang dilangsungkan hampir selalu disandingkan dengan ketiga Generasi yang sebutkan di atas.
Hari Senin (14/08/2023) ini saya menghadiri kegiatan Lterasi Keuangan yang diselenggarakan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Bank Indonesia (BI), kementerian Keuangan (Kemenkeu), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Tagline yang dipakai dalam event ini ialahÂ
"Generasi Muda Pelaku Usaha, Rising Stars : Young Entrepreneurs Shine in Financial Investing"
Meskipun memang faktanya seperti diungkapkan Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar bahwa 80 persen investor di Pasar Modal Indonesia adalah Generasi Milenial dan Gen Z.
Bukan hanya investor sebenarnya, di OJK dan di Lembaga-Lembaga Negara lain yang mengawasi sektor keuangan, rata-rata  70 persen pegawainya adalah Generasi Milenial dan Gen Z.
Fakta ini memang menyatakan bahwa Generasi Milenial dan Gen Z secara demografi menjadi bagian terbesar di negeri, dan menguasai sebagian besar ruang-ruang yang ada di sektor keuangan di Indonesia.
Namun bukan berarti, generasi yang usianya di atas Generasi Milenial seolah tak diberi ruang untuk bisa berkreasi, berinvestasi, atau bekerja di sektor keuangan
Bila itu yang terjadi bisa disebut diskriminasi karena faktor "U"
Hal serupa terjadi juga di pasar kerja nasional secara umum, Â lowongan pekerjaan untuk generasi di atas milenial saat ini nyaris tak ada, kecuali dalam jumlah yang sangat kecil untuk level manajerial tingkat atas.
Tak dapat dipungkiri apa yang terjadi di Indonesia adalah prasangka atau diskriminasi terhadap individu berdasarkan usia yang biasanya di sebut Ageisme.
Diskriminasi apapun dasar dan bentuknya seharusnya tak terjadi, sama saja seperti rasisme atau bias gender.
Sayangnya, ageisme terhadap mereka yang berusia setengah baya di atas 40 tahun dianggap biasa saja, bahkan seperti memperoleh dukungan dari semua pihak.
Kalimat saktinya, "masa depan negeri ini ada di tangan generasi muda." Tak ada yang salah memang, tapi mestinya diingatkan juga, generasi muda itu tak akan ada kalau tidak ada generasi di atasnya.
Apa yang bakal dinikmati oleh generasi muda, juga hasil kerja generasi sebelumnya. Mestinya apapun generasinya harus diperlakukan dan diberi kesempatan yang sama.
Dalam hal mendapatkan pekerjaan misalnya, uji saja secara meritokratis, bukan dibatasi berdasarkan usianya.
Bicara tentang ageisme di dunia kerja, munculnya pembatasaan usia dalam lowongan kerja dapat  menjadi masalah.
Pasalnya, orang-orang berusia di atas 30 atau 40 tahun yang notebenenya masih tergolong usia produktif menjadi kesulitan mendapat pekerjaan.
Padahal, Indonesia sudah meratifikasi Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan.Â
Isi konvensi tersebut adalah negara bertanggung jawab memastikan tidak ada diskriminasi dalam proses rekrutmen hingga pelaksanaan hubungan kerja, termasuk diskriminasi usia.
Rasanya  sudah waktunya kita semua terutama di sektor keuangan, mulai menakar ulang bias usia seperti yang kerap terjadi saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H