Dalam penerbitan berbagai Surat Berharga Negara (SBN) atau Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) Ritel, narasi Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan selalu membandingkan imbal hasil yang ditawarkan oleh SBN atau SBSN ritel dengan suku bunga deposito.
Kalimatnya kurang lebih seperti ini, misalnya,
"Imbal hasil ORI 023 lebih menarik dibandingkan rata-rata bunga deposito di bank-bank milik negara"Â
Sebagian dari kita mungkin sedikit kurang memahami,Â
"Lah kok instrumen investasi di dibandingkan dengan deposito,"
"Ga apple to apple dong perbandingannya"
"Deposito kan produk perbankan seperti tabungan, jelaslah imbal hasilnya pasti lebih rendah dibandingkan imbal hasil instumen investasi"
Pertanyaannya deposito itu produk tabungan atau produk investasi sih?
Mengutip keterangan dari situs resmi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), memang betul deposito imerupakan produk perbankan, tapi dikategorikan sebagai produk investasi.
Jadi secara sederhana, deposito itu adalah produk investasi dari perbankan yang secara nature memiliki tingkat suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan tabungan.
Namun, nasabah tidak bisa menarik uangnya setiap saat, tapi harus sesuai dengan jangka waktu seperti yang ditetapkan di awal.
Deposito lazimnya, dipilih sebagai instrumen investasi dengan profil risiko sangat rendah, apalagi saat ini diperkuat oleh jaminan dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Meskipun untuk mendapat fasilitas jaminan dari LPS tersebut harus memenuhi beberapa syarat, diantaranya, institusi perbankan yang bersangkutan sudah menjadi anggota LPS dan dana yang ditempatkan dalam deposito tersebut jumlahnya untuk satu rekening tak lebih dari Rp. 2 miliar.
Serta satu lagi, besaran suku bunga yang ditawarkan harus sama atau lebih kecil dibandingkan suku bunga penjaminan yang ditetapkan oleh LPS secara berkala
Hal itu dilakukan karena, dalam menetapkan besaran suku bunga, bank memiliki otoritas masing-masing, walaupun biasanya selalu berada di bawah suku bunga acuan Bank Indonesia, tapi tak jarang juga ada bank yang menawarkan yang jauh lebih tinggi.
Dalam situasi tertentu, bahkan pihak bank terkadang menawarkan tingkat suku bunga khusus yang lebih tinggi dibandingkan imbal hasil yang dipublish secara umum, jika dana nasabah yang ditempatkan sangat besar.
Selain itu, dalam menetapkan suku bunga deposito, bank biasanya membedakan dari jangka waktunya dan bentuk mata uang yang di depositokannya.
Di Indonesia biasanya deposito ditawarkan dalam bentuk mata uang Rupiah dan Valuta Asing, deposito valas lebih kecil bunga-nya dibandingkan deposito rupiah.
Hal tersebut dapat terjadi karena pihak bank memperhitungkan risiko nilai tukar yang terkadang bergerak fluktuatif dan juga tingkat inflasi yang terjadi di kurun waktu tersebut.
Sementara, Jangka waktu deposito atau biasa disebut tenor, lazimnya ada yang 1 bulan, 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan hingga 24 bulan.
Nah, terkait jangka waktu ini artinya nasabah tak bisa menarik dananya selama masa tenor yang dipilihnya, apabila di tengah jalan nasabah terpaksa harus menarik dana depositonya maka ia akan terkena pinalti dengan besaran tertentu sesuai yang ditetapkan di awal.
Dalam hal bukti kepemilikan deposito, berbeda dengan tabungan, ketika membuka deposito maka nasabah akan mendapat tanda bukti berupa bilyet deposito, sebelum teknologi digital berkembang biasanya itu berbentuk fisik, tapi saat ini bilyet tersebut bentuknya digital yang dikirimkan lewat email nasabah yang bersangkutan.
Lantas jangka waktu deposito mana yang sebaiknya dipilih?
Untuk jangka waktu, sebaiknya nasabah berhitung terlebih dahulu, berapa lama dana yang akan ditempatkannya di deposito itu tak akan digunakan atau dalam posisi idle dan untuk tujuan apa.
Memang kalau kita mengejar bunga, lebih lama jangka waktu depositonya maka lebih tinggi pula bunga yang ditawarkan pihak bank.
Tetapi perbedaan besaran suku bunga itu, akan sia-sia juga andai di tengah perjalanan, sebelum masa jatuh temponya tiba, nasabah menarik dananya, lantaran akan terkena pinalti.
Oleh sebab itu, sebaiknya tenor deposito yang dipilih bersifat moderat yakni antara 3 hingga 6 bulan, dengan begitu nasabah masih bisa menjaga likuiditas keuangannya.
Toh apabila dananya masih idle bisa kok diperpanjang lagi atau roll over, apalagi jaman sekarang memperpanjang tenor deposito bisa dilakukan secara online, jadi sangat mudah.
Terus, bagaimana dengan perhitungan uang yang akan diperoleh oleh nasabah dari bunga deposito?
Dalam menghitung bunga deposito ada dua caranya, tahunan secara lumpsum dan  yang lebih sering digunakan adalah menghitung berapa nominal per bulan yang didapatkan dari bunga deposito tersebut.
Formulanya kurang lebih seperti di bawah ini:
Jumlah uang yang didepositokan x suku bunga x 80% x 30 hari : 365 hari.
80 persen itu adalah 100 persen bunga dikurangi pajak bunga deposito yang ditetapkan Pemerintah sebesar 20 persen.
Contohnya :
Diasumsikan bunga depositonya 5 persen dan uang depositonya Rp. 100.juta.
Maka perhitungannya 100 juta x 5%x 80% x 30 hari = 120 juta                                   120 juta : 365 = 328,767Â
Jadi setiap bulan, nasabah yang bersangkutan akan menikmati imbal hasil sebesar Rp 328.767, hingga masa jatuh tempo depositonya tiba
Dan, ini lah cara membiakan uang yang selama ini populer dilakukan masyarakat, karena produk ini dikenal aman dan bebas risiko selain sudah dikenal secara luas.
So, Deposito itu memang merupakan produk investasi paling populer saat ini yang dikeluarkan oleh perbankan.Â
Mengutip data Distribusi Simpanan yang dirilis LPS April 2023, dari total dana simpanan pihak ketiga di bank-bank umum nasional yang berjumlah Rp 8.057 triliun, masih didominasi oleh deposito yang jumlahnya mencapai Rp.3.006 triliun atau sekitar 36 persen dari total dana pihak ketiga yang ada di bank umum.
Meskipun belakangan, menurut kajian Bank Indonesia, karena rendahnya tingkat suku bunga deposito, telah mendorong perpindahan penempatan dana masyarakat ke instrumen investasi dengan tingkat risiko dan keamanan setara seperti SBN atau SBSN pemerintah.
Dalam hal ini, keputusan memang ada di masing-masing individu, mereka pastinya memiliki spektrum investasi yang berbeda-beda pula, yang jelas pilihan investasi yang aman dan legal harus terus diperkaya, sehingga dapat menghindari jebakan investasi bodong.
Satu hal lagi, bagi masyarakat sebelum menyimpan atau menginvestasikan uangnya selalu ingat dua L, Legal dan Logis.
Pastikan keabsahannya secara hukum, cek dan ricek ke otoritas keuangan yang ada seperti OJK
Dan masuk akal enggak imbal hasil yang ditawarkannya,enggak ada itu investasi yang untungnya gede tanpa risiko.
Camkan, hukum besi investasi high risk, high return. Untung besar pasti risikonya pun besar.Â
Jangan kemaruk.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H