Nah, dengan Qris ini karena dalam prosesnya harus memiliki rekening di sebuah institusi perbankan, mau tidak mau mereka menjadi terpapar sistem keuangan, hal yang menjadi bagian dari upaya inklusi keuangan masyarakat.
Tak terbatas sampai disitu, inklusi keuangan juga terjadi di sisi lain, karena dalam setiap transaksi menggunakan Qris ini tercatat secara propered, maka pelaku usaha mikro bersangkutan berpotensi meningkatkan scoring credit-nya apabila mereka berminat untuk mengajukan kredit modal usaha demi meningkatkan size usahanya tersebut, ujungnya ekonomi masyarakat Indonesia berpeluang terus menunjukan pertumbuhan positif.
Itu lah manfaat dari keberadaan menggunakan Qris, selain untuk kemudahan, keamanan, dan efesiensi sistem pembayaran, juga sebagai bagian upaya meningkatkan inklusi keuangan di tengah warga Indonesia.
Selain memberi manfaat-manfaat tersebut,karena dalam setiap kebijakannya BI punya kewajiban untuk menjaga stabiltas mata uang nasional Indonesia, Rupiah,demi sistem perekonomian nasional yang lebih baik, maka BI kemudian bergerak untuk mencoba menggunakan Qris, sebagai bagian dari upaya stabilitas nilai tukar rupiah.
Salah satu upaya untuk itu, BI kemudian berusaha mendekati negara-negara di ASEAN agar dapat menggunakan teknologi digital dalam sistem pembayaran di Kawasan Asia Tenggara sebagai bagian dari stabiltas mata uang di negara-negara kawasan Asean.
Qris ini lah yang kemudian disorongkan BI sebagai salah satu tool untuk menstabilkan nilai tukar mata uang negara-negara Asean dengan pendekatan local currency settlement (LCS).
Semua pihak yang terlibat dalam perundingan LCS ini,, sampai dengan saat ini masih mengesampingkan kemungkinan mata uang tunggal seperti Euro di Uni-Eropa, karena disparitas size ekonomi dan pendapatan per kapita masing-masing negara, sehingga perhitungan dalam pembentukan mata uang tunggal menjadi sulit.
Inti dari LCS ini kurang lebih adalah dalam setiap transaksi personal dan perdagangan negara-negara Asean menggunakan mata uang lokal masing-masing negara, Rupiah indonesia, Ringgit Malaysia, Dollar Singapura, Baht Thailand, Peso Filipina dan berbagai mata uang negara Asean lain, tanpa menggunakan Dollar Amerika Serikat seperti yang selama ini berangsung.
Makanya, banyak pihak menyebut bahwa LCS tersebut bagian dari de-Dolarisasi, gerakan yang sekarang tengah ramai menjadi bahan perbincangan di dunia keuangan global.
Terlepas dari isu de-Dolarisasi tersebut, dalam konteks LCS semua hal yang berkaitan dalam lingkup sebuah kerjasama apapun bidangnya selalu bersifat resiprokal, apalagi dalam kaitannya dengan sektor ekonomi, ujungnya diharapkan selalu win-win solution.
Hingga saat ini, telah ada lima negara Asean yang sudah bersepakat dalam konsep local currency settlement untuk menjalin kerjasama ASEAN payment connectivity, negara tersebut adalah Indonesia, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Singapura.