Secara umum standar kualitatif dalam menentukan bacawapres diluar masalah integritas dan rekam jejak adalah tingkat penerimaan yang tinggi di akar rumput partai dan para petinggi Partai atau para king maker.
Satu hal lain, bacawapres juga diharapkan dapat memberi coat tail effect bagi lelektabilitas parpol anggota koalisi dan jangan lupa bacawapres harus memiliki kekuatan logistik yang mumpuni alias dana yang cukup untuk membiayai pencalonannya.
Sebagai gambaran, seperti yang saya kutip dari acara Rosi di Kompas.TV, saat Pilpres 2019 lalu Sandiaga Uno harus mengeluarkan uang lebih dari Rp. 1 triliun.
Namun ada hal lain yang harus dihitung, bacapres dan bacawapres harus memiliki chemistry yang kuat antar keduanya, agar di tengah perjalanan tak berpisah arah atau saling berebut menjadi matahari kembar.
Atau bisa juga karena memiliki ambisi lebih untuk menjadi capres di pemilu atau pilpres periode berikutnya, bacawapres tersebut menjadi bertindak "kemajon" agar mendapat nilai lebih di mata rakyat Indonesia, meskipun pandangannya harus berbeda dengan presidennya.
Terlepas dari itu semua, siapapun paslonnya dan apapun parpolnya serta siapapun yang didukungnya, marilah secara bersama-sama menyikapi perbedaan pilihan politik itu secara rasional dan beradab.
Ingat siapapun paslon dalam pilpres, mereka semua itu manusia biasa saja, bukan malaikat yang selalu benar atau dianggap setan yang selalu salah.
Dukunglah mereka secara rasional dan proporsional, itu saja.
Menarik memang mencermati perkembangan politik elektabilitas belakangan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H