Kemudian, pada awalnya China tak meminta jaminan Pemerintah Indonesia, pembiayaan dari APBN, dan subsidi tarif, serta pembengkakan biaya akan  menjadi tanggung jawab Joint Venture  Company (JVC), Perusahaan patungan antara China Indonesia yang kemudian diberi nama PT. Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) ini komposisi sahamnya 60 persen Indonesia dan 40 persen China.Â
Modelnya kerjasamanya  full business to business (BtoB), tak melibatkan secara langsung Pemerintah.
Sedangkan isi proposal Jepang dalam poin ini berbanding terbalik dengan proposal yang diajukan China, Jepang meminta jaminan Pemerintah, pembiayaan dari APBN dan subsidi tarif, serta bila terjadi pembengkakan biaya ditanggung Pemerintah.
Atas dasar utama, dua poin itu lah akhirnya Pemerintah Indonesia memilih bekerjasama dengan China, selain beberapa poin lain seperti alih teknologi dan sejumlah alasan teknis lainnya.
Hal ini kemudian di-highlight oleh Presiden Jokowi .
"Kereta cepat tidak gunakan APBN. Kita serahkan BUMN untuk Business to Business (B to B). Pesan yang saya sampaikan kereta itu dihitung lagi," kata Jokowi seperti dilansir Kompas.Com.
Dalam perjalanannya, ternyata salah satu alasan utama Jokowi memilih China sebagai pemenang proyek KCIB tak menggunakan APBN itu direvisi karena terjadi komplikasi yang mengakibatkan pembengkakan biaya berkali-kali, sehingga mau tak mau, APBN harus turun tangan, meski dengan skema pembiayaan yang sedikit berputar melalui penyertaan modal negara PMN kepada perusahaan BUMN Â anggota konsorsium PT. KCIC, dalam hal ini PT.KAI, PT. Waskita Karya, PTPN VIII, dan PT. Jasa Marga.
Alasan lain memilih China pun, dibabat lagi kemudian, pemerintah China meminta jaminan APBN atas utang pembayaran proyek KCJB ini, meski pemerimtah belum.mengiyakan, namun sepertinya Indonesia tak memiliki pilihan lain selain menuruti kemauan China.
Padahal diawal Jokowi sempat berbicara bahwa dalam proyek KCJB ini Indonesia tak akan mau di dikte China, faktanya ya begitu deh.
Di poin lain dengan membengkaknya total biaya menjadi US$ 7,2 milyar, artinya jumlah tersebut sudah jauh melampaui angka penawaran yang diajukan Jepang dalam proposalnya sebesar US$ 6,2 Â milyar.
Meskipun memang tak ada jaminan andai dipegang Jepang-pun Proyek KCJB ini biayanya tak akan membengkak, tapi paling tidak dalam penawarannya Jepang lebih rasional dan tidak tricky.