Mengutip data APBN Kita Kemenkeu, sampai dengan akhir Desember 2022, komposisi portofolio utang pemerintah didominasi oleh SBN termasuk di dalamnya SUN yakni mencapai 88,53 persen atau senilai Rp. 6.846,89 triliun  dari total keseluruhan utang negara yang sebesar Rp. 7.733,99 triliun.
Jika melihat nominalnya memang utang negara tersebut sangat besar dan terus mengalami kenaikan, tetapi jika dibandingkan dengan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) periode yang sama tahun 2021 menurun dari sebelumnya 40,74 persen, menjadi 39,57 persen.
Dan menurut Kemenkeu, rasio utang terhadap PDB itu masah dalam batas aman, wajar, dan terkendali diiringi dengan diversifikasi portofolio yang optimal.
Aman karena masih di bawah 60 persen terhadap PDB seperti yang diatur dalam Undang-Undang nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Memang secara praksis, indikator rasio besaran utang berbanding PDB ini masih menjadi bahan peredebatan para ahli ekonomi dunia, namun Debt to GDP Ratio inilah yang saat ini paling eligible dan banyak digunakan serta dijadikan standar indikator kemampuan sebuah negara dalam membayar utang oleh organisasi-organisasi keuangan dunia seperti Bank Dunia, IMF, OECD, dan lainya adalah.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lain termasuk di dalamnya dengan negara-negara di kawasan Asia Tenggara, rasio utang Indonesia relatif lebih moderat.
Rasio utang Indonesia hanya  sedikit lebih besar Kamboja dan Brunei Darusalam yang rasio utang terhadap PDB-nya hanya 2,3 persen.
Pun demikian, jika diperbandingkan dengan negara-negara G-20, hanya Rusia dan Saudi Arabia saja yang Debt to GDP ratio-nya lebih kecil dari Indonesia.
Selain Debt to GDP Ratio,Debt Service to Revenue (DSR) indikator terkait kerentanan utang Indonesia tahun 2022 sudah membaik berada di angka 34,47 persen, dibawah ambang batas yang ditetapkan IMF yakni dikisaran 25 persen hingga 35 persen.
Debt service to revenue ratio, atau pendapatan dibanding besaran kewajiban utang yang harus dibayar Pemerintah Indonesia terus menunjukan perbaikan.