Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Resesi Seks Bukan tentang Keengganan Memiliki Anak, dan Belum Akan Terjadi di Indonesia

23 Desember 2022   14:38 Diperbarui: 23 Desember 2022   15:25 632
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apabila "Resesi Sex" diartikan sebagai keengganan seseorang atau pasangan suami istri untuk memiliki anak atau memilih untuk memiliki sedikit anak seperti ditulis Kompas.Com.

Artinya, frekuensi aktivitas seksual atau intercourse masih tetap dilakukan tetapi menggunakan berbagai cara agar hubungan seksual yang dilakukan tersebut tak menyebabkan kehamilan yang berujung hadirnya seorang anak.

Dengan demikian tak tepat rasanya jika kondisi itu disebut sebagai "resesi seks." Toh hubungan seksual tetap dilakukan dengan frekuensi dan intensitas sama, yang tak diinginkan hanya lah salah satu hasil dari hubungan seksual tersebut, yakni anak.

Resesi sendiri, sejatinya merupakan istilah ekonomi, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Resesi adalah /re*se*si/ /rssi/ n kelesuan dalam kegiatan dagang, industri, dan sebagainya (seolah-olah terhenti); menurunnya (mundurnya, berkurangnya) kegiatan dagang (industri): 

Sedangkan Seks, dalam konteks ini dimaknai sebagai aktivitas seksual, hubungan seksual, intecourse, atau penetrasi penis terhadap vagina. 

Jika digabungkan "Resesi Seks" akan bermakna kelesuan atau berkurangnya minat dalam melakukan hubungan seksual atau intercourse, dengan tujuan apapun bahkan untuk sekedar kegiatan rekreatif sekalipun,  bukan karena enggan memiliki anak.

Dengan demikian, kurang tepat rasanya jika Kompas.Com mengartikan resesi seks sebagai "keengganan seseorang atau pasangan suami istri untuk memiliki anak  atau memilih untuk memiliki sedikit anak "seperti tertulis di atas.

Saya sudah menulis tentang "resesi seks' ini di Kompasiana sejak 3 tahun lalu, silakan baca disini, dengan mengutip tulisan yang dibuat analis ekonomi CNBC, Jake Novak bertajuk "America's sex recession could lead to an economic depression"

Dari tulisan Novak inilah lahir istilah "Sex Recession" atau resesi seks yang kemudian menjadi semacam istilah baru. Selain tulisan Jake Novak, kondisi resesi seks yang kini mulai menyerang dunia, sebelumnya pernah ditulis oleh Kate Julian, seorang kolumnis perempuan di The Atlantic dengan judul "Why Are Young People Having So Little Sex?"

Tulisan Kate Julian yang bersumber dari berbagai penelitian terkait aktivas seksual ini, banyak dikutip oleh berbagai media internasional saat mereka menulis tentang resesi seks yang kini melanda banyak negara maju, seperti misalnya Amerika Serikat, Jepang, China, Korea Selatan, dan Singapura.

Dalam terminologi Jake Novak dan Kate Julian, resesi seks bisa terjadi karena anak-anak muda yang masuk dalam kategori milenial dan generesi Z, jauh lebih sedikit melakukan aktivitas seksual atau berhubungan seksual karena berbagai sebab.

Jadi clear, bahwa aktivitas seksualnya yang menurun oleh sebab itu kemudian disebut sebagai resesi seks, akibat penurunan tersebut maka jumlah anak yang dihasilkan pun menurun.

Jika dianalogikan ke dalam sebuah siklus produksi, hubungan seksual adalah proses produksinya sedangkan anak adalah salah satu dari hasil produksinya.

Fenomena resesi seks ini tanda-tandanya sudah terlihat sejak satu dekade silam,  The Washington Post merilis hasil penelitian yang menunjukan 23 persen orang dewasa muda di Amerika Serikat tak melakukan hubungan seks dalam setahun terakhir.

Terdapat berbagai faktor yang menyebabkan resesi seks bisa terus berlanjut, Pandemi Covid-19 menjadi salah satu biang keladinya, lantas krisis ekonomi yang melanda dunia pun menjadi salah satu penyebabnya.

Generasi milenial dan Generasi Z lebih memilih berkonsentrasi pada hal-hal yang memungkinkan mereka berkembang secara finansial, daripada harus terdistraksi oleh hal-hal berbau hubungan cinta atau seksual, yang terkadang memang menyita waktu.

Selain itu, menurut Novak keputusan para manusia dewasa muda ini di dukung oleh Teknologi yang berkembang saat ini.  Mereka memiliki perangkat subtitusi untuk menuntaskan hasratnya melalui aktivitas seksual artificial, seperti situs-situs pornografi yang bertebaran di dunia maya, alat-alat bantu seks hingga robot seks pun tersedia.

Sehingga memungkinkan mereka untuk seminimal mungkin memiliki kontak dengan manusia lain alhasil resesi hubungan seksual antar manusia pun terus mengalami penurunan yang salah satunya menyebabkan menurunnya populasi manusia.

Lantas bagaimana dengan Indonesia?

Menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Hasto Wardoyo, indikasi atau gejala ke arah resesi seks memang ada yakni dengan semakin tingginya usia pernikahan penduduk Indonesia.

Namun, pernikahan tak bisa disamakan dengan terjadinya hubungan seksual, sangat mungkin jutaan penduduk Indonesia melakukan hubungan seks di luar pernikahan.

Memang dengan adat ketimuran dan agama yang kebanyakan dianut oleh penduduk Indonesia, masalah hubungan seks di luar nikah itu dianggap tabu,  andai pun dilakukan ya diam-diam tak diumbar seperti di negara-negara barat yang lebih bebas terhadap seks.

Tapi percayalah, fakta yang terjadi di lapangan itu dilakukan. Mungkin ketika saya menulis artikel ini nun jauh di daerah lain atau bahkan tak jauh dari lokasi saya, ada yang tengah melakukan hubungan seks di luar nikah.

Oleh sebab itu saya yakin, Indonesia tidak sedang atau menuju pada resesi seks, kondisinya masih sangat normal. Lebih jauh lagi bagi mereka yang sudah menikah, hubungan seks merupakan hiburan gratis di tengah kepenatan akibat berbagai tekanan hidup.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun