Artinya upaya pemerintah dengan instrumen fiskal itu sudah bisa dianggap berhasil mengurangi intensitas perokok untuk menghisap rokoknya.
Dengan demikian, paling tidak mereka sudah dalam track yang benar dalam pengendalian rokok, saya pun meyakini para perokok pemula akan bepikir berkali-kali untuk merokok karena harganya mahal.
Sebagai tambahan informasi, harga jual rokok di Indonesia merupakan salah satu yang paling murah di kawasan Asia Tenggara bahkan mungkin dunia.
Sebagai benchmarking, harga jual rokok yang biasa saya hisap di Singapura harga per bungkusnya mencapai Rp 160 ribu, di Australia lebih mahal lagi, harga per bungkusnya mencapai Rp 368 ribu rupiah, demikian juga di Selandia Baru yang harganya di atas Rp 300 ribu.
Mengingat fakta-fakta di atas, saya hanya ingin memberikan gambaran  mengendalikan produksi dan distribusi rokok ibarat dua sisi mata uang, bagi pemerintah Industri Hasil Tembakau (IHT) itu situasinya dilematik dan penuh kontroversi.Â
Di satu sisi IHT mampu menyerap tenaga kerja sangat besar, menurut Laporan Ernst & Young jumlahnya mencapai 5,98 juta orang.Â
Namun di sisi lain produk hasil tembakau ini menimbulkan dampak eksternalitas negatif bagi kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup.
Mengingat besarnya skala eksternalitas negatif yang timbul akibat produk tembakau, tindakan masif perlu dilakukan untuk mengurangi efek negatif terhadap kesehatan masyarakat dan lingkungan hidup dari bahaya akibat produksi tembakau, serta jika memungkinkan memberikan efek jera bagi perokok.
Salah satu opsi yang dapat digunakan adalah kebijakan berdasarkan pasar (market base-policy) yakni kebijakan menaikkan cukai atas hasil tembakau dengan maksud mengendalikan konsumsi.
Dengan besaran cukai yang tepat diterapkan, maka pola konsumsi akan cenderung menurun, disebabkan pola behaviour konsumsi masyarakat yang rata-rata sensitif terhadap harga.
Itu yang sebenarnya diharapkan oleh pemerintah terkait kenaikan cukai hasil tembakau tersebut.Â