Perang Rusia melawan Ukraina yang telah berlangsung selama 4 bulan, telah memicu kriris energi di hampir seluruh benua Eropa, setelah Rusia mengurangi pasokan gas ke Benua Biru itu sebagai balasan terhadap tindakan Uni Eropa yang menjatuhkan sanksi kepada Rusia.
Hal tersebut bisa terjadi lantaran menurut berbagai sumber referensi yang saya dapatkan, karena ketergantungan Eropa terhadap pasokan energi dari Rusia sangat besar, mencapai 40 persen.
Perusahaan energi asal Rusia Gazprom disebutkan telah memangkas suplai gas alam lewat jalur pipa Nord Stream sebanyak 20 persen, menjadi sekitar 33 juta meter kubik perhari mulai akhir Juli lalu.
Alhasil, negara-negara di kawasan Eropa harus benar-benar melakukan penghematan energi. Pemerintah negara-negara di Benua itu mulai meminta masyarakatnya untuk menghemat gas, agar bisa dipergunakan sebagai cadangan untuk penggunaan pada saat musim dingin yang sebentar lagi datang.
Apabila hal itu tak dilakukan, krisis energi diprediksi akan terus memburuk di tengah meningkatnya kebutuhan listrik untuk pemanas pada musim dingin.
Inggris misalnya, berencana untuk melakukan pemadaman listrik secara massal selama 4 hari pada bulan Januari 2023 karena mereka akan kekurangan pasokan, minimal seperenam dari total kapasitas permintaan puncak.Â
Meskipun pemerintah Inggris telah mengaktifkan pembangkit listrik tenaga uap berbahan batu bara.
Ditambah lagi menurut sejumlah pengamat cuaca, musim dingin tahun ini suhunya bakal lebih rendah dibanding tahun sebelumnya, hal tersebut otomatis akan memaksa penggunaan listrik  lebih tinggi.
Dengan situasi seperti ini, tak heranlah jika harga energi menjadi sangat mahal yang pada akhirnya mendorong inflasi di berbagai negara di Eropa, termasuk Inggris.
Kondisi ini bertambah berat setelah harga pangan pun bergerak naik secara signifikan, ketika energi dan pangan harganya tak terkendali, inflasi dapat dipastikan bakal meroket, per Juli 2022 inflasi di Inggris menembus angka 10 persen, tepatnya 10,1 persen tertinggi sejak 40 tahun terakhir.
Inflasi tinggi membuat daya beli masyarakat menurun, hal tersebut memaksa Pemerintah Inggris untuk memberikan subsidi energi kepada rakyatnya sebesar 100 miliar Poundsterling atau sekitar Rp.1.700 triliun.