Mungkin pemilihan diksi "beban" yang digunakan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati  beserta jajaran Kementerian Keuangan terkait pembayaran uang pensiun Pegawai Negeri Sipil (PNS) dirasa kurang enak didengar.
Meskipun, sebenarnya yang dimaksud SMI bukan pensiunan as a person yang menjadi "beban," tetapi skema pembayaran pensiunan PNS lah yang menjadi beban keuangan negara.
Namun, diksi pensiunan PNS  beban negara yang dipahami  as a person itu sudah terlanjur menjadi perbincangan di jagat Twitter alhasil keriuhan pun kemudian terjadi.
Jika benar SMI atau jajaran pejabat Kemenkeu menganggap pensiunan PNS sebagai beban negara, sungguh sangat sadis dan ironis, serupa peribahasa habis manis sepah dibuang.
Ketika di usia produktif dan mengabdi pada negara, mereka tentu saja sudah bekerja sebaik dan semaksimal mungkin dalam memberikan sumbangsihnya untuk negara dalam durasi yang cukup panjang.
Oleh sebab itu, meskipun masa bakti mereka telah selesai, saya rasa mereka masih memiliki nilai aset yang sangat patut untuk dihargai.
Mungkin ada baiknya Kemenkeu menghindari diksi "beban" apabila berkaitan dengan pensiunan.
Memang dalam bahasa akuntansi beban atau expenses  itu lazim digunakan untuk menerangkan jenis pengeluaran yang membantu proses perolehan barang atau jasa yang akan berpengaruh pada pendapatan di kemudian hari.
Dan sangat wajar bila digunakan untuk menerangkan pengeluaran dalam APBN. Tapi tak semua orang memahami "beban" dalam prespektif akuntansi.
Masyarakat mengenal beban, seperti yang diartikan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) beban adalah barang (yang berat) yang dibawa (dipikul atau dijunjung). Intinya beban berkonotasi kurang genah lah, karena seolah dianggap tak berguna.
Apalagi seperti yang saya tahu berkaca pada ibu saya yang kebetulan seorang pensiunan PNS, pada saat mereka aktif bekerja gaji mereka dipotong setiap bulannya untuk jaminan pensiun dan dikelola oleh perusahaan asuransi milik negara bernama TASPEN.