Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Perusahaan BUMN Sakit Menahun dan Tak Bisa Disembuhkan, Apakah Sebaiknya Dibubarkan Saja?

22 Juli 2022   11:51 Diperbarui: 22 Juli 2022   13:05 356
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika salah satu perusahaan milik negara (BUMN) yang bergerak di bisnis kontruksi, PT. Istaka Karya resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, netizen  +62 heboh.

Pailitnya PT.Istaka Karya, digoreng menjadi isu politik yang berkaitan dengan ketidakmampuan Kementerian BUMN dalam mengelola perusahaan-perusahaan pelat merah tersebut.

Salah satu yang gencar menggoreng isu ini Mantan Sekretaris Kementerian BUMN di masa Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono, Muhammad Said Didu. Lewat cuitan di akun miliknya @Msaid_didu, ia menulis.

"Baru kali ini terjadi BUMN Pailit"

Padahal putusan Pailit PT. Istaka Karya itu bukan kali pertama sebuah BUMN dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.

Terakhir, maskapai penerbangan pelat merah Merpati Nusantara  Airlines dinyatakan pailit oleh Pengadilan Negeri Surabaya pada 16 Juni 2022.

Sebelumnya ada juga yang membubarkan diri seperti, PT. Industri Sandang Nusantara, ada pula PT Iglas yang berbasis di Gresik serta PT. Kertas Kraft Aceh.

Dan seluruh BUMN tersebut memang sudah "sakit parah" jauh sebelum Erick Thohir menjabat Menteri BUMN dan Jokowi menjadi Presiden.

Bahkan saking parahnya, BUMN tersebut dijuluki Zombie lantaran secara hukum perusahaan itu masih berdiri dan diakui keberadaannya, tetapi sebagian besar dari mereka tak ada operasionalnya sama sekali.

Karena pada dasarnya perusahaan -perusahaan tersebut sudah tak bisa disembuhkan lagi, dibiarkan hidup malah menjadi beban bagi negara.

BUMN-BUMN yang sakit tadi sudah berusaha "disembuhkan," dengan memasukan mereka ke dalam "ruang perawatan khusus" yang dikelola oleh PT. Perusahaan Pengelolaan Aset (PPA).

PT. PPA yang didirikan pada tahun 2004 merupakan sebuah "rumah sakit" khusus untuk merawat perusahaan milik negara yang tengah sakit akut.

Awalnya PT.PPA ini dibentuk untuk mengelola aset-aset yang dikelola oleh eks Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pasca krisis moneter tahun 1997.

Setiap lembaga perbankan yang menerima kucuran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk menutupi jebolnya likuiditasnya saat itu wajib menyerahkan aset sesuai dengan jumlah dana BLBI yang diterimanya.

Aset-aset itulah yang dikelola oleh PT.PPA setelah BPPN secara resmi dibubarkan Pemerintah , aset yang dikelolanya tak terbatas aset berupa fisik, tetapi juga, aset kredit, saham atau surat berharga lainnya hingga pengelolaan manajemennya.

Keberadaan PT.PPA kemudian diperluas fungsi dan kewenangannya, setelah terbitnya Peraturan Pemerintah nomor 61 tahun 2008 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan Persero di Bidang Pengelolaan Aset.

PT.PPA tak hanya mengelola aset eks BPPN, tetapi ditambah dengan revitalisasi dan restrukturisasi perusahaan BUMN, serta yang berkaitan dengan investasi dan pengelolaan aset milik BUMN.

Atas dasar itulah, PT PPA kemudian diberi tanggungjawab untuk menyehatkan perusahaan-perusahaan merah yang sedang sakit. Beberapa perusahaan BUMN yang mereka rawat antara lain, PT. Merpati Nusantara Airlines (MNA),  PT. Industri Glass (Iglas), PT. Industri Sandang Nusantara, PT Industri Soda Indonesia, PT Kertas Kraft Aceh, PT Kertas Leces, PT Pengembangan Armada Niaga Nasional, (PANN), PT.Istaka Karya, PT Survey Udara Penas, PT Dirgantara Indonesia, PT PAL Indonesia, dan PT. Industri Kapal Indonesia.

Dalam perjalanannya, PT.PPA kemudian melakukan assesment terkait kondisi dari BUMN-BUMN sakit tersebut, dipilah mana yang mungkin untuk disembuhkan mana yang lebih baik dibiarkan mati saja.

Meskipun tentu saja untuk menentukan hal tersebut faktornya tidak tunggal, selain masalah kondisi keuangan ada beberapa faktor lain yang menjadi ukuran untuk menentukan masa depan Perseroan tersebut, salah satunya untuk kepentingan strategis nasional yang tak tergantikan.

Beberapa BUMN yang sudah tak mungkin diselamatkan antara lain PT.Iglas, PT Industri Sandang Nusantara, PT. Industri Soda Indonesia, PT Kertas Leces, PT Kertas Kraft Aceh, dan PT PANN, beberapa diantaranya sudah tak beroperasi sejak 2008.

Namun, yang baru dibubarkan pemerintah hanya, PT Iglas, PT.Industri Sandang Nusantara, dan PT Kertas Kraft Aceh. Sisa dari BUMN yang tak terselamatkan tadi kini hidup bak perseroan zombie.

Bahkan, menurut Mantan Deputi Bidang Usaha Pengembangan Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN, Fajar Harry Sampurno, ada diantaranya, yang sudah tak memiliki karyawan, operasional hanya sebatas administratif tanpa menghasilkan pendapatan apapun, tapi direksi serta komisarisnya masih lengkap dan selalu diundang dalam setiap rapat.

Selain tak beroperasi, perusahaan-perusahaan ini juga sudah tak berdampak pada hajat hidup orang banyak. Sehingga tidak perlu dipertahankan dan tidak masalah jika segera dibubarkan.

Nah, BUMN-BUMN seperti ini lah yang disasar Erick Thohir sebagai Menteri BUMN untuk dibubarkan atau dipailitkan seperti yang terjadi pada PT. MNA dan PT.Istaka Karya.

Sementara PT.MNA dan PT. Istaka Karya tadinya diharapkan masih bisa disembuhkan meskipun sakitnya lumayan akut. 

Merpati sudah tak lagi beroperasi sejak Februari 2014, Menteri BUMN saat itu Dahlan Iskan memutuskan untuk menghentikan operasional maskapai yang dikenal dengan penerbangan perintisnya tersebut, karena salah urus manajemen, sehingga kerugian perusahaan semakin dalam, dan hutang perusahaan semakin menggunung.

And you know what, salah satu yang seharusnya bertanggungjawab atas kondisi tersebut adalah Muhammad Said Didu, yang kini ramai koar-koar "kepailitan Istaka Karya"  karena ia sempat menjadi Komisaris Utama PT Merpati Nusantara Airline.

Walau kemudian sempat akan terbang kembali pada tahun 2020, tapi lantaran investor barunya terjerat masalah hukum, sayap Merpati tak kuasa lagi mengepak dan akhirnya dipailitkan oleh Pengadilan Negeri Surabaya Juni 2022 lalu.

Pun demikian dengan Istaka Karya, sejak putusan homologasi atau pengesahan perdamaian oleh hakim atas persetujuan debitur dan kreditur untuk mengakhiri kepailitan pada tahun 2013, kondisi PT Istaka karya tak jua menunjukan perbaikan kinerja, meskipun masih beroperasi dan sedang mengerjakan sejumlah proyek hingga saat dipailitkan 12 Juli 2022 lalu.

Namun, ada juga BUMN yang merupakan "pasien" PT.PPA yang berhasil sembuh dan menjadi perusahaan yang sehat setelah dilakukan revitalisasi dan restruturisasi, antara lain PT.PAL Indonesia yang kini dijadikan sebagai Perusahaan Induk atau Holding Industri Pertahanan Indonesia.

Kemudian ada PT. Dirgantara Indonesia, dan PT Survey Udara Penas yang di ubah namanya menjadi PT Aviasi Pariwisata Indonesia untuk kemudian menjadi perusahaan induk industri pariwisata Indonesia.

Keputusan membubarkan atau membiarkan pailit perusahaan BUMN bermasalah  yang sudah tak bisa lagi disembuhkan memang sebuah keharusan, karena kalau tidak negara akan berpotensi terus merugi lantaran keberadaan BUMN sakit tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun