Kemudian setelah dikeluarkannya aturan tersebut, munculah aturan cukai yang paling awal yang diatur melalui Staatsblad Nomor 517 Tahun 1932, kemudian Staatsblad Nomor 560 Tahun 1932.
Dan terakhir Staatsblad Nomor 234 Tahun 1949 tentang Tabaksaccijns Ordonnantie (Ordonansi Cukai Tembakau).
Aturan-aturan ini kemudian berkembang sesuai jaman dan Pemerintahannya, hingga yang digunakan saat ini yakni Undang-Undang nomor 39 tahun 2007 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang nomor 11 tahun 1995 Tentang Cukai.
Pada prinsipnya dalam aturan tentang cukai yang paling baru tersebut adalah memperhatikan dengan sangat aspek pengendaliannya, tetapi dalam saat bersamaan juga mampu memberikan perlindungan terhadap pelaku usaha.
Selain itu istilah rokok pun kemudian diganti menjadi industri hasil tembakau. Dalam perjalanannya, cukai hasil tembakau (CHT) ini menjadi salah satu tulang punggung penerimaan negara, tak kurang dari 8 hingga 9 persen pendapatan negara dalam APBN berasal dari industri hasil tembakau.
Namun demikian, tekanan dari pihak eksternal dan internal terkait pengendalian industri hasil tembakau semakin kencang.
Kemudian pemerintah mulai terlihat agresif menjadikan cukai sebagai salah satu instrumen utama pengendalian konsumsi rokok.
Selain sejumlah aturan lainnya, seperti berbagai kebijakan terkait pembatasan iklan rokok atau memperluas kawasan bebas rokok.Â
Larangan iklan rokok oleh para aktivis anti-rokok, dianggap salah satu cara yang paling efektif untuk mengendalikan angka perokok pemula khususnya dari kalangan anak dan remaja.
Walaupun sebenarnya larangan iklan rokok tak akan berdampak terlalu signifikan pada tingkat prevelansi perokok pemula. Lantaran tanpa iklan pun, merokok ya merokok saja.
Untuk itulah kemudian membuat cukai menjadi sangat penting dalam hal mengendalikan konsumsi rokok. Karena semakin tinggi cukainya maka akan semakin mahal harga jual rokoknya.