Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Lintasan Politik Indonesia di Antara 2 Balapan di 2 Sirkuit yang Berbeda

25 Mei 2022   11:06 Diperbarui: 25 Mei 2022   11:18 443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mungkin hanya di Indonesia dua ajang balapan di dua sirkuit berbeda menjadi komoditas politik.

Balapan Moto GP yang diselenggarakan di Sirkuit Mandalika Lombok Nusa Tenggara Rakyat dianggap mewakili kepentingan politik Pemerintah dalam hal ini Jokowi dan para pendukungnya.

Sedangkan Balapan Formula E yang diselenggarakan di Sirkuit "dadakan" Ancol dianggap menjadi personifikasi kaum oposisi dengan sosok Gubernur DKI jakarta Anies Baswedan sebagai simbol "pemimpinnya."

Kita tahu lah, hal tersebut merupakan bagian dari manifestasi polarisasi politik di tengah masyarakat Indonesia yang mulai dapat dirasakan sejak Pilpres 2014, mendaki pada Pilkada DKI 2017 dan mencapai puncaknya dalam Pilpres 2019.

Setelah itu apapun persoalannya, dimungkinkan atau tidak, hampir selalu ditarik ke ranah " pihak A (cebong) vs pihak B (kampret)"

Lapang kurusetra kedua kelompok hasil polarisasi ciptaan para politisi tak senonoh negeri ini adalah dunia digital terkhusus media sosial. 

Keduanya bahkan mempermasalahkan hal yang sama sekali tak ada kaitan langsung dengan kehidupan di Indonesia seperti konflik Rusia dengan Ukraina, hal tersebut kemudian menjadi ajang pertempuran dua pihak itu.

Apalagi yang berhubungan langsung seperti penyelenggaraan dua balapan di dua sirkuit berbeda ini. 

Para pendukung Jokowi mati-matian mempromosilan dan membela gelaran Balapan MotoGP.

Sedangkan para oposan yang sebagian besar merupakan pendukung Anies Baswedan menjadi "Die Hard" ajang balapan Formula E.

Keduanya, terpampang jelas berbeda, yang disetujui oleh kelompok A tanpa  ba bi bu bakal ditentang oleh kelompok B tanpa perlu memiliki dalih valid apapun, dan begitupun sebaliknya

Meskipun cara pandang mereka sudah pasti berbeda, sebenarnya konsep yang mereka gunakan dalam menyikapi perbedaan pandangan politiknya serupa, yaitu:

 "Senang melihat pihak lain susah, susah melihat pihak lain senang"

Mungkin kita masih ingat saat uji coba Sirkuit Mandalika oleh para Pebalap Moto GP  pada bulan Februari 2022, aspal di Sirkuit tersebut banyak yang mengelupas di beberapa bagian.

Pihak A serta merta memberi penjelasan yang terbaca ilmiah terkait hal tersebut dan penjelasannya itu diamplifikasi secara luas di media sosial oleh para pendukungnya.

Sementara Pihak B, melihat situasi yang kurang menguntungkan bagi pihak A, langsung melancarkan berbagai bullying dan mungkin mensyukuri kemalangan yang menimpa "lawannya" di berbagai platform media sosial.

Mungkin mereka berharap dengan kejadian itu, kalau bisa sih Balapan Moto GP di Mandalika tersebut gagal terlaksana atau paling tidak diundur, lantaran dengan fakta tersebut bisa dianggap  pihak penyelenggara A.Ka Pemerintah Jokowi  tak kompeten dengan demikian maka ada kesempatan untuk menjatuhkan nama baiknya dan menjadi bahan bullying termutakhir.

Ketika hal tersebut ternyata tak terjadi, Balapan Moto GP kemudian bisa terselenggara secara baik. Pihak B berusaha sangat keras untuk menegasikan keberhasilan tersebut dengan mempersoalkan printilan yang tak terlalu substansial seperti masalah pawang hujan, jumlah dan asal penonton, hingga kehadiran Jokowi di Paddock sirkuit.

Hal yang sama juga terjadi pada Balapan Formula E, bedanya kali ini yang melakukan serangan opini adalah Pihak B dan yang bertahan adalah Pihak A.

Segala rupa hal yang berhubungan dengan persiapan Formula E dilihat begitu detil dengan menggunakan kacamata mikroskop, berharap ada yang melenceng sehingga bisa menjadi bahan untuk menyerang Anies Baswedan sebagai sosok yang dianggap capres terkuat dari kelompok oposisi dalam Pilpres 2024 kelak.

Beberapa hal berbau kurang sedap terkait penyelenggaraan Formula E sempat ditemukan dari mulai commitment fee yang dibayar terlalu besar, hingga penggunaan APBD secara tak Propered untuk kegiatan tersebut.

Hal tersebut digunakan Pihak A untuk menyerang sosok Anies Baswedan dan para pendukungnya. beribu bahkan mungkin berjuta cuitan berterbangan di media sosial terkait hal tersebut.

Ketika penyelenggaraan Formula E mendekati hari H, yang rencananya akan berlangsung pada 4 Juni 2022 mendatang. Pihak A terus menggali kemungkinan buruk dari penyelenggaraan Balapan Mobil Listrik ini.

Begitu kemalangan terjadi sudah hampir dapat dipastikan Anies Baswedan, penyelenggara, dan para pendukungnya  akan dikuliti.

Padahal apabila kita semua mau berpikir secara jernih tanpa tendensi apapun, kedua ajang balapan internasional tersebut pada akhirnya akan membawa nama baik Indonesia di mata dunia internasional.

Dengan begitu, terlepas dari adanya berbagai kasus dalam proses penyelenggaraannya sudah seyognya didukung oleh semua masyarakat ndonesia.

Adapun jika kemudian dalam proses penyelengaraannya terdapat sesuatu yang melanggar hukum, selesaikan saja setelahnya, bukan ramai-ramai mendegradasi keberhasilannya dan  meningkahi dengan riang gembira kemalangannya.

Hal ini membuktikan bahwa efek polarisasi politik yang berkepanjangan ini sungguh sangat tidak sehat bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Andai lintasan politik antara dua sirkuit tadi ditarik maju dalam konteks Pilpres 2024 kelak.

Jangan-jangan, dasar seseorang mendukung satu sosok bukan berdasarkan dirinya paham atau menyukai calon pilihannya tersebut.Namun, lebih karena membenci lawan politiknya. 

Jadi para pendukung Anies Baswedan, tak mendukung Gubernur DKI Jakarta tersebut karena paham dengan program-programnya atau menyukai sosoknya. Tetapi karena mereka tidak suka pada Jokowi dan para pendukungnya.

Begitu pun sebaliknya, para pendukung Jokowi sudah hampir dapat dipastikan tak akan memilih Anies Baswedan. Karena Jokowi sudah tak akan maju lagi sebagai calon Presiden 2024, maka siapapun lawan Anies nantinya pasti itu yang didukung oleh pendukung Jokowi saat ini.

Bukan karena mereka genuine paham dan menyukai sosok pilihannya tersebut, tetapi karena mereka tidak suka pada Anies Baswedan dan para pendukungnya.

Dalam ilmu politik populer hal ini disebut sebagai Negative Partisanship.

Menurut Profesor Chris Webber dari School of  Government & Public Policy University of Arizona, Negative Partisanship  adalah ketika seseorang memilih sebuah partai politik atau kandidatnya bukan karena ia menyukai gagasan atau sosok kandidatnya, tetapi lantaran ketidaksukaan terhadap lawan politiknya.

Hal ini terjadi saat Donald Trumph memenangkan Pilpres Amerika Serikat tahun 2017. para pemilih Trump disinyalir mayoritasnya bukan lantaran ingin memilih Trump, tetapi karena mereka tidak suka pada lawan politiknya saat Pilpres tersebut, Hillary Clinton.

Tentu saja hal ini tak akan baik buat kehidupan demokrasi ke depannya, bisa jadi kita semua menjadi tidak rasional lagi dalam menentukan pilihan terhadap kandidat yang berintegritas dan memiliki program memang untuk kepentingan masyarakat luas.

Untuk itu, rasanya mulai saat ini marilah kita mencoba berpikir rasional, bukan sebatas fanatisme belaka dalam menentukan pilihan politik kita.

Sehingga polarisasi akibat perbedaan pandangan politik tak berlangsung panjang seperti saat ini, usai pesta demokrasi maka usai pula perbedaan tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun