Pemerintah Kolonial Belanda saat itu, untuk kepentingan melanggengkan kekuasaannya di Indonesia.
Mereka membagi masyarakat yang tinggal di wilayah jajahannya yaitu Hindia Belanda, dalam tiga strata yang menunjukan tinggi rendahnya status kewarganegaraannya.
Urutan stratafikasi teratas ditempati oleh masyarakat Eropa terutama yang berasal dari Negeri Belanda sebagai penguasa wilayah Indonesia saat itu.
Strata kedua diisi oleh masyarakat China, Arab, dan India yang mereka klasifikasikan sebagai pengusaha atau pedagang yang menyokong sisi ekonomi upaya kolonialisasi Hindia Belanda.
Strata terendah dari klasifikasi penjajah tersebut adalah golongan masyarakat yang telah lama tinggal di Indonesia yang mereka sebut sebagai "inlander" alias pribumi.
Para inlander ini berada dalam posisi terendah lantaran mereka menjadi objek langsung penindasan sebagai konsekuensi kolonialisme penjajahan.
Dalam perjalanannya, justru para pribumi inilah yang kemudian menjadi lokomotif sekaligus gerbong utama dalam pergerakan kemerdekaan Indonesia, dibantu oleh sebagian golongan masyarakat strata dua dari etnis non-pribumi dalam stratafikasi kolonial yakni China Arab, dan IndiaÂ
Para "pribumi dan non-pribumi" sadar arti penting sebuah kemerdekaan tanpa memandang ragam suku dan agama. Mereka berjuang bersama dengan darah, jiwa, dan raganya untuk kemerdekaan Indonesia.
Ajaibnya berpuluh tahun pasca kemerdekaan Indonesia, kita seolah kembali mundur pada masa kolonial dengan menggaungkan pengistilahan pribumi dan non-pribumi.
Isu ini dimunculkan kembali demi kepentingan politik elektabilitas. Hal itu sangat disesalkan lantaran kemudian menjadi tonggak perkembangan rasisme terhadap kelompok etnis dan agama tertentu walaupun pada dasarnya lebih kepada alasan politis.
Kondisi ini semakin terbantu oleh ekslusivitas kelompok agama dan etnis tertentu dalam banyak hal termasuk dalam pergaulan sehari-hari.