Mohon tunggu...
Efwe
Efwe Mohon Tunggu... Administrasi - Officer yang Menulis

Penikmat Aksara, Ekonomi, Politik, dan Budaya

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Dugaan Suap Bupati Bogor Ade Yasin terhadap Pegawai BPK Demi WTP, Masih Percaya BPK?

30 April 2022   05:54 Diperbarui: 30 April 2022   13:10 297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Agak sulit membayangkan tata kelola keuangan negara Republik Indonesia tercinta ini dapat dilakukan dengan baik dan bertanggung jawab apabila diawasi oleh kualitas-kualitas busuk personil Badan Pengawas Keuangan (BPK) seperti yang tertangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Bupati Kabupaten Bogor Ade Yasin Kamis (28/04/22) kemarin.

Menjadi lebih ironis, seperti dilansir berbagai media nasional, ternyata suap yang diberikan sebesar Rp.1,9 miliar oleh Ade Yasin dan jajarannya kepada auditor BPK tersebut sebagai "pelicin" agar Kabupaten Bogor mendapatkan opini audit tertinggi dari standar yang ada bagi seluruh kementerian, lembaga negara dan pemerintah daerah di negeri ini, yakni predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).

Tak ada yang salah dalam standarisasi hasil audit tersebut, apalagi untuk audit keuangan negara di kementerian, lembaga negara, dan pemerintah daerah,  BPK telah menetapkan Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN).

Hal tersebut diatur dalam Peraturan BPK Nomor 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan Negara sebagai pengganti SPKN yang ditetapkan sebelumnya melalui peraturan BPK nomor 1 tahun 2007.

Seluruh pihak yang melakukan auditing terhadap keuangan negara wajib memedomani beleid ini sebagai standarnya.

Tak terlalu sulit juga sebenarnya untuk mendapatkan opini WTP sehingga pemerintah daerah atau kementerian dan lembaga negara harus menyuap auditor BPK agar mendapatkan predikat audit tersebut.

Sepanjang laporan keuangannya ada kesesuaian dengan standar akuntansi pemerintah, kecukupan dalam pengungkapan, kepatuhan terhadap peraturan perundangan dan efektivitas sistem pengendalian internal, opini WTP hampir pasti bakal disandang.

Namun, lantaran Kabupaten Bogor sudah kadung ada kesalahan penggunaan anggaran di sana sini, makanya untuk mendapatkan opini WTP, mereka menyuap auditor BPK.

Ironisnya lagi mental-mental busuk pegawai BPK yang sebenarnya sudah mendapatkan gaji dan remunerasi berupa tunjangan kinerja yang cukup tinggi dibanding aparatur sipil negara (ASN) lain, memang kelihatannya memberi angin atau membuka peluang untuk itu.

Ya sudah, alhasil opini audit WTP menjadi lahan jual beli yang menggiurkan. Supply dan demand berlaku disini.

Diluaran, isu-isu miring terkait jual beli opini WTP ini menguar cukup kencang, bahkan harga-harganya sudah berselIweran ditetapkan.

Dan hal ini lah yang harus dibuktikan sebaliknya, oleh lembaga tinggi auditor negara tersebut.

Apabila personelnya kerap bermain lancung, jangan salahkan masyarakat tak lagi mempercayai hasil kerja mereka.

Andai demikian opini WTP yang merupakan peringkat tertinggi dari opini audit bakal lebih banyak dicibir.

"Akh, WTP-nya kan hasil beli, padahal laporam keuangannya sebenarnya centang perentang tak berkesesuaian dengan aturan yang ada.

Audit sendiri sebenarnya kegiatan yang merupakan keharusan dalam sebuah sistem organisasi, untuk mengukur efektifitas dan efesiensi penggunaan anggaran.

Secara umum audit  adalah suatu proses sistematis untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti yang berhubungan "asersi" tentang tindakan dan kejadian ekonomi secara objektif untuk menentukan tingkat asersi dengan kriteria yang telah ditentukan dan mengkomunikasin hasilnya kepada pihak-pihak yang berkepentingan.

Sebagai tambahan informasi asersi adalah istilah manajemen yang kurang lebih berarti suatu rangkaian deklarasi terkait laporan keuangan secara keseluruhan, oleh pihak yang bertanggungjawab atas deklarasi tersebut.

Nah, hasil dari audit tersebut agar lebih mudah dipahami kalangan umum diberikan peringkat yang disebut opini audit yang terdiri dari lima jenis.

Pertama dan yang paling tinggi dan menJadi dambaan setiap lembaga teraudit, adalah Wajar Tanpa Pengecualian (Unqualified Opinion).

Opini ini secara teori akan diberikan oleh auditor apabila auditor tak menemukan kesalahan yang material secara keseluruhan dari laporan keuangan dan laporan keuangannya dibuar sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi yang berlaku (PSAK).

Semua itu paling tidak sudah harus memnuhi beberapa kriteria sebagai berikut :

  1. Laporan keuangan lengkap
  2. Bukti audit yang dibutuhkan lengkap
  3. Standar umum dalam perikatan kerja telah diikuti sepenuhnya.
  4. Laporan keuangan telah disajikan sesuai PSAK yang berlaku dan konsisten.
  5. Tidak terdapat ketidaksesuaian yang cukup berarti mengenai perkembangan di masa depan (going concern).

Ketika semua kriteria tersebut sudah terpenuhi, WTP bagi lembaga teraudit menjadi keniscayaan.

Kedua, Opini Wajar dengan Pengecualian (Qualified Opinion).

Opini audit ini akan disematkan auditor apabila auditor menemukan terjadi kesalahan penyajian baik secara individual maupun agregasi yang material tetapi tidak pervasif atau berdampak kemana-mana terhadap laporan keuangan.

Ketiga, Wajar tanpa Pengecualian dengan paragraf Penjelasan (Modified Unqualified Opinion).

Jenis opini yang satu ini diberikan oleh auditor atas dasar keadaan tertentu yang tidak memiliki dampak secara langsung terhadap pendapat wajar.

Perbedaan dari jenis opini ini terletak pada paragraph penjelasan yang diberikan oleh auditor terkait dengan keadaan tertentu yang telah dinyatakan sebelumnya.

Keempat, Opini tidak Wajar (Adverse Opinion).

Audit ini harus diberikan auditor apabila dalam pemeriksaan menemukan bukti yang cukup dan tepat yang menjadi dasar untuk menyimpulkan bahwa ada kesalahan secara individual dan agregasi dalam penyajian, dan itu bersifat pervasif.

Kelima, Opini Tidak Menyatakan Pendapat (Disclaimer of Opinion).

Opini Disclaimer diberikan auditor ketika mereka tak memperoleh bahan yang cukup dan tepat untuk  mendasari opini audit, jika pun ada,  pasti laporan keuangannya penuh kesalahan yang bersifat material dan pervasif.

Kelima jenis opini audit tersebut tak akan berarti apapun dan validitasnya pun bakalan tak bisa dipertanggungjawabkan, apabila dalam proses auditingnya diimbuhi morald hazard  para auditornya.

Mereka menggadaikan integritas, independensi dan profesionalitasnya demi uang.

Seperti yang terjadi pada kasus dugaan suap di Kabupaten Bogor, selain Bupatinya Ade Yasin dan 2 orang jajarannya.

Empat orang tersangka lain telah ditetapkan oleh KPK yakni para auditor BPK Perwakilan Jawa Barat. 

Kondisi ini, bakal menambah ketidakpercayaan masyarakat terhadap BPK, sudah menjadi rahasia umum kok ada beberapa kasus terkait jual beli hasil audit dan lebih banyak lagi yang tak menjadi kasus, karena banyak pihak yang tahu tapi tak bisa membuktikannya.

Apabila terus dibiarkan, akan sangat berbahaya bagi sistem keuangan negeri ini.

Harus ada sistem pengawasan  lebih ketat lagi terhadap para auditor BPK dan pada saat tahap rekrutmennya, agar kejadian jual beli opini  hasil audit ini tak terjadi lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun